Dari kemarin ada dua hal membuat hati saya mendidih, menyangkut pernyataan dua Wakil Menteri di Republik Indonesia kita cintai ini, negara berdaulat ini, negera besar ini.
Wakil Menteri pertama membuat dada saya sesak adalah, Wakil Menteri Keuangan. Ke media Senin kemarin ia bilang akan melakukan road show, melakukan pemaparan ke khalayak investor Migas di Singapura, mencari mereka yang siap melakukan investasi sebesar Rp 90 triliun membangun kilang minyak (refinery) di Indonesia. Lebih menyesakkan hati, ia katakan, hanya melalui Singapura kita akan mendapatkan investor dan pakar di bidangnya.
Kalimat Wamen tersebut, adalah kalimat bak penjajah. Sebagai pribadi saya ingin mengatakan bahwa untuk investasi Rp 100 triliun pun di refinery saya siap menunjukkan kemampuan anak negeri lokal melakukan. Sindikasi bank dan keuangan pun siap membiayai sudah sejak lama. Refinery lokal selama ini “diperkosa” oleh kolutor lokal dan Singapura jangan sampai dibangun. Sehingga ketergantungan akan tetap ke storage di negeri jiran itu yang belakangan turut campur soal pemberian nama kapal perang RI.
Itu artinya rencana ke Singapura itu, bagi saya hanya sowan kepada mafia Migas di negeri jiran itu. Bukan mencari investor.
Kedua, Wamen ESDM petang ini ke media mengatakan ketakutan kepada Singapura, bila tidak lewat negara itu ke mana lagi Indonesia mengimpor minyak. Bagi saya ini kenyataan amat bikin tenggorokan pahit. Bagi saya terjawab sudah ternyata kabinet Indonesia di era SBY ini telah diisi para pengecut, terindikasi para komparador, menggantungkan leher ke asing khususnya Singapura.
Bukan berita baru perdagangan minyak melalui perusahaan Petral di Singapura, telah gerogoti banyak perantara. Dan membesarkan nama sosok seperti Muhammad Reza, kini mulai bersembunyi di London.
Saya pernah ke kantor Petral dua kali di Takashimaya lantai 10, di Jl Orchard Road, Singapura. Betapa tertutupnya kantor itu dengan info. Sama dengan sangat tertutupnya mengapa Petral juga punya kantor di Hongkong - - konon untuk melakukan akal-akalan pajak selesih 6% juga bisa dibagi-bagi oknum tertentu.
Saya juga teringat bagimana saya tiada henti pada 2009-2010 bahkan hingga kini memverifikasi pembunuhan anak pintar Indonesia di kampus NTU, Singapura. Saya mebayangkan persidangan koroner yang akhirnya hukum negeri jiran itu juga tergantung mainan “hidangan” di pengadilan.
Saya pun teringat bagimana banyak pengemplang BLBI menarok uang di Singapura, termasuk mereka koruptor yang sudah ditahan KPK RI menyimpan uang di Singapura.
Maka malam ini, saya putuskan sudah saat setidaknya saya harus menempeleng dua Wamen di atas tadi. Sungguh bacot dan tulisan sudah tak berguna lagi. Saya akan cari dua Wamen itu dan saya akan tempeleng. Mungkin Anda mau ikut? Ayuk.
@iwanpiliang citizen reporter
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H