Mohon tunggu...
Narliswandi Piliang
Narliswandi Piliang Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Traveller, Content Director, Citizen Reporter, Bloger, Private Investigator

Business: Products; Coal Trading; Services: Money Changer, Spin Doctor, Content Director for PR, Private Investigator. Social Activities: Traveller, Bloger. email: iwan.piliang7@yahoo.com\r\nmobile +628128808108\r\nfacebook: Iwan Piliang Dua , Twitter @iwanpiliang7 Instagram @iwanpiliangofficial mobile: +628128808108

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Opini: Banggakah Kita Ibukota Twitter Dunia

22 Januari 2014   09:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:35 1756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Twitter, sebagai aplikasi media sosial melakukan go public, penjualan saham, pada Medio November 2013 lalu. Twitter Inc., menetapkan harga US$ 26 per unit saham penawaran umum perdana (initial public offering/IPO). Mereka melego 70 juta saham setara dengan US $ 1,82 miliar, atau 10 % dari nilai perusahan mencapai US $ 18,3 miliar. Penjamin emisi sahamnya Goldman Sachs, Morgan Stanley, dan JPMorgan Chase. Lantas harga perdana itu terjual US $ 27 per lembar.

Pertengahan Januari 2014 saya membaca di media Indonesia dinobatkan sebagai Ibu Kota Kicauan Twitter di dunia. Setidaknya, demikian dilaporkan Reuters, sebagaimana saya kutip di majalahict.com. Tajuk ibukota kicauan Twitter itu, berdasarkan Twitter berkibar di Indonesia. Twitter mudah diakses, didukung pengguna gadget, handphone, tumbuh pesat.
Hingga Oktober 2013, Indonesia menjadi negara ke-2 pengguna Twitter tertinggi, yakni 19%. Arab Saudi di urutan pertama 33%. Penduduk Indonesia 237,5 juta jiwa, maka setidaknya ada 45 juta pengguna. Mereka dari kanak-kanak, remaja, hingga Presiden.

Menjadi pertanyaan saya, akhirnya bangsa dan negara ini dapat apa? Inilah, saya kuatirkan sejak 10 tahun lalu ketika pernah menjadi Ketua Pokja Konten dan Aplikasi di Kadin Indonesia. Bangsa dan negara ini dikelola oleh mereka terlalu liberal di jasa keuangan. Hingga saat ini tidak ada modal ventura (venture capital) riil yang memfasilitasi anak-anak pintar, credential asset lokal, memiliki waktu dan ketekunan bekerja, membuat aplikasi, memprogram implementasikan ide.

Sehingga tidak ada kesempatan dan pengalaman berproduksi. Akibatnya jika pun ada anak-anak pintar dalam aplikasi, akhirnya bekerja di negara lain.

Saya mempunyai teman programmer “gila” seperti Anthony Seger. Ia rajin melakukan riset dan pengembangan seorang diri. Dengan bekal keahlian bahasa program komputer dari era jebot hingga C++, Computer Visssion,  Computer Graphic Imegery, pernah membuat aplikasi enkripsi untuk realtime komunikasi suara di handphone. Aplikasi itu pernah saya perlihatkan kepada Jokowi, Gubernur DKI, ketika awal hendak mencagub DKI. Jokowi kala itu bertanya untuk apa dipakai? Saya jawab anti sadap. Jauh sebelum heboh isu penyadapan asing. Tidak banyak orang seperti Anthony.

Dan negara juga tak berubah dari dekade ke dekade. Akhirnya dari sudut ekonomi apa sih didapat bangsa dan negara dari Twitter? Bangsa cerdas seperti Cina membuat Twitter-nya sendiri, bahkan mereka membuat Android-nya sendiri. Bahkan secara umum mereka enggan memakai aplikasi berbayar buatan barat. Selain mengembangkan kemampuan lokal, mereka juga mengamankan segenap data komunikasi bangsa dan negaranya dari penyadapan asing.
Kita?

Sama dengan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), begitu pula di dunia kreatif. Adanya Kementrian Industri Kreatif, tida menyentuh credential asset, manusia-manusia hebat difasilitasi dari bicara ide hingga mewujudkan. Mereka pengelola tak pernah melihat asset ini. Lebih sakti industri kreatif kemudian memasukkan kursi dan meja juga ke kelompoknya. Ditambah pula Kementrian Informasi dan Komunikasi tak memiliki pemahaman dan visi pengembangan konten. Maka di bangsa dan negara lahirlah sebagai kelas pemakai sahaja; kelas pengguna total football, kaffah, tertinggi sejagad.

Menyimak fenomena Twitter Inc., IPO, juga kini Indonesia dijuluki Ibukota Kicauan Twitter Dunia, sudah saatnya lahir pemimpin bervisi mengarahkan bahwa dunia ICT, konten khususnya, juga bisa menghasilkan devisa miliaran dolar. Visi itu terimplemtasi dari regulasi untuk memakai aplikasi karya lokal, juga dukungan modal ventura berproduksi. Tanpa itu, ke depan negeri ini hanya bangsa haw-haw di bidang konten, pemakai sesumbar memanfaatkan untuk ekonomi, seperti sebagai buzzer dapat seperak dua, bertepuk dada sudah. Padahal pendapatan ekonomi sebagai buzzer di media sosial itu, hanyalah kelas cacing-cauk. Kelas raksasanya dinikmati pemilik aplikasi Twitter, ribuan triliun. Bangsa dan negara Indonesia telah mendukung mereka tambun. Naif sekali.

@iwanpiliang, Citizen Reporter

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun