Film yang dirilis tahun 1984 ini ternyata masih bergema hingga kini baik yang menganggapnya sebagai film sesuai kenyataan namun banyak juga yang menganggap film ini ada fantasinya sehingga tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.
Film Penumpasan Pengkhianatan G30s PKI yang karena kepanjangan sering dipendekkan dengan Film Pengkhianatan G30s PKI memang terbilang kontroversial. Bagi pelaku sejarah dan terutama korban yang salah tangkap dari peristiwa tahun 1965 itu ada beberapa hal yang perlu dikoreksi dari film tersebut karena terlalu “lebay” menggambarkan kedashyatan banyak adegannya sehingga berkesan bagi penonton, termasuk saya, film yang mengerikan dan membuat hidup jadi tidak nyaman.
Namun sebagai suatu film yang mencekam dan dramatis, film ini bagi saya termasuk sukses karena pilihan pencahayaan, music background (score music), sinematografi, skenario dan penjiwaan karakter pemainnya sangat mengena. Didukung dengan atmosfir saat jaman orde baru diwajibkan menonton bagi masyarakat dan “dosa” kalau tidak menonton, klop sudahlah trauma masa tahun 65an dibalut dengan kekuasaan represif Soeharto, makin menjadikan aura film ini bahwa PKI (Partai Komunis Indonesia) sebagai bahaya laten yang harus diwaspadai.
Saya sempat mengunjungi Museum Pahlawan Revolusi di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur, dan saya menyaksikan diorama dan sisa sisa baik kostum, mobil, foto dan perangkat lainnya dari peristiwa itu dan memang dari penyajiannya tidak terkesan “fun” dan “friendly” hampirnya semuanya sisinya “gelap” dan kita terasa diajak membenci para pengkhianat itu. Apalagi ada gambaran saat putri Jenderal AH Nasution, Ade Irma Nasution terkena peluru nyasar dan wafat-sesuatu yang amat diingat dan ingin dilihat oleh anak saya yang saat itu masih SMP saat kunjungan itu.
Gambaran-gambaran inilah akhirnya sangat membekas betapa sebuah film yang digarap dengan bumbu kekerasan yang terlalu banyak dan vulgar diperagakan membentuk karakter penontonnya juga dengan cepat mengadaptasi kalau yang wajahnya seram dan menakutkan (sinister), bicaranya kasar dan keras, punya hobi hedonis: pesta, dansa-dansi, dan merokok pastilah orang-orang yang harus dihindari karena berbahaya. Padahal dalam kenyataannya banyak koruptor saat ini ternyata penjahat kerah putih yang umumnya tampangnya klimis dan good-looking, gaya bicaranya halus, modis, sopan, berparfum wangi dan agamis.
Film ini juga bisa dibilang propaganda Orde baru (Orba) karena menggambarkan karakter dan pemimpin Orde Lama (Orla) itu seperti kurang jasanya, padahal tokoh seperti Soekarno jelas saat Indonesia dalam revolusi kemerdekaan harus dihormati. Begitu juga dengan banyak Jenderal seperti Ahmad Yani, ketua MPRS Chairul Saleh dan lainnya pastilah punya peran dan jasa yang tidak sedikit, namun sayang dalam film ini seperti ada “brainwash” mereka seperti underrated.
Sebagai film yang juga menggambarkan adanya jurang kaya dan miskin dan yang sejahtera dan yang tidak , cukup jelas digambarkan disini sebagai pijakan bahwa penguasa Orla lupa dengan rakyatnya, ditambah dengan permisifnya penguasa Orla dengan hadirnya Partai Komunis dan yang ditentang Partai Agama seperti Masyumi membuat film ini menjadi pembenaran untuk membasmi PKI dengan klimaksnya pembunuhan para Jenderal Angkatan Darat.
Tentang peran sutradara Arifin C Noer dalam film ini jelas ada dari skenarionya namun peran produser dibelakangnya yang membawa misi Orde Baru jadi penentu pesan film ini jadi seperti apa. Kalau orang bilang film ini jadi film propaganda artinya kesan yang didapatkan tidak sesuai dengan pesan yang ada. Atau pesan dan kesannya tidak nyambung.
Film kembali lagi kepada penontonnya sebagai tontonan atau tuntunan? Bagi yang masih ingin menonton atau tidak terserah, karena hidup ini harus maju ke depan dan tidak mengulang sejarah kelam dimana perang saudara terjadi di film ini. Dan yang terpenting tidak selalu perbedaan pendapat harus menjadi anarkisme seperti peristiwa mahasiswa versus aparat dalam pengesahan UU KPK baru, justru disaat peristiwa reformasi sudah lebih dari 20 tahun berlalu. Mengapa tidak dialog dengan para mahasiswa yang jadi calon pemimpin dan pewaris negeri ini? Peristiwa tahun Tritura tahun 1966 dan Reformasi tahun 1998 sudah cukup menjelaskan mahasiswa dengan daya kritisnya harus diakomodasi. Semoga.
“Don’t cry over split milk” (Jangan pernah menyesali peristiwa yang sudah terjadi, apalagi karena kesalahan sendiri).