Siapa butuh tepuk tangan meriah, panggil saja mahasiswa! Bertahun-tahun, saya sering menyaksikan mahasiswa diundang di televisi untuk bertepuk tangan. Menggunakan jaket almamaternya, kemudian tertawa terpingkal-pingkal di depan Tukul, Opera Van Java, atau parodi politik. Di TVRI masih lumayan, mereka diundang juga untuk memberikan gagasan-gagasanya bersama para pengamat atau praktisi. Meskipun belum beranjak dari bangku penonton. Apakah yang ada dalam benak para dosen, dekan dan rektor melihat warga civitas akademika mereka "dihargai" semacam itu oleh para pengelola media. Atau, apa yang ada dalam benak mahasiswa dan organisasi kampus saat mereka "hanya" dipandang dalam posisi demikian? Tak ada maksud saya merendahkan para mahasiswa, apalagi sangat manusiawi kalau dibalik keseriusan mereka dalam menimba ilmu, kadang juga harus menyeimbangkan jiwa dengan menghibur diri bersama para pelawak di televisi. Tapi, tak adakah tawar menawar yang lebih mencerminkan harga diri sebagai mahasiswa, sebuah kelompok masyarakat terdidik utama di Indonesia. Apalagi, acara tersebut di depan publik Indonesia sendiri. Kalau tidak, sebaiknya hadir saja sebagai penonton biasa, bukan sebagai mahasiswa berjaket almamater. Dalam banyak pemberitaan sekarang, peran mahasiswa semakin diwakili oleh demonstrasi yang bertabur kekerasan. Seolah-olah kekerasan dalam aksi demonstrasi adalah syarat dari para pengelola media untuk menjamin aksi-aksi mereka diliput dan diberitakan televisi. Tuntutan aksi tak penting lagi menjadi berita, lempar batu dan bakar ban adalah isi beritanya. Dalam kerangka yang lebih besar, bisa jadi itulah cermin kita sebagai bangsa. Kita sering meminta orang luar menghargai produk dan anak bangsa kita sendiri, tapi kita bisa jadi tengah "merusaknya" dengan sadar. Kita juga kerap meminta orang lain untuk menghargai kita, tapi kita sendiri malah mengobral diri menerima tawaran murah sekali dan langsung boleh-boleh saja. Sebenarnya, banyak mahasiswa dan pelajar kita menjadi pahlawan dalam mewakili bangsa, hanya sedikit media massa merasa perlu memberitakannya untuk menjadi inspirasi bagi seluruh rakyat. Padahal, lebih seribu manusia sekaliber Habibie telah lahir dalam rahim universitas dan sekolah di republik ini. Untunglah, Obama datang dan mengajarkan kepada Republik ini bagaimana menghargai mahasiswa. Ia datang untuk memberi kuliah umum dan berdialog dengan mahasiswa. Dahulu, Bung Karno begitu menghargai mahasiswa dan pemuda. Ia sering mengundang mahasiswa berdebat, memarahi dan memberi kuliah pada mahasiswa. Sebab, disana cahaya kemajuan sebuah bangsa salahsatunya ditancapkan. Sejak zaman saya kuliah di tahun 90-an sampai era sekarang, pandangan para mahasiswa memang tidak didengar atau diminta dalam berbagai diskusi-diskusi arus utama pemerintah pusat dan daerah, pelaku usaha, parlemen, dst. Mungkin pandangan mereka dianggap mentah, sok tahu dan banyak cakap sehingga tak pernah diajak. Lalu, datanglah ide entah dari siapa sebaiknya mahasiswa disuruh tepuk tangan saja di televisi. Sebab, kalau mereka yang tepuk tangan berarti ilmiah. Walah... :) Selamat Natal dan Tahun Baru 2011...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H