Baru saja pulang dari Cilacap. Kota bersejarah di provinsi Jawa Tengah bagian Selatan yang selama ini identik dengan Nusa Kambangan. Pulau para pesakitan negeri. Oleh orang Belanda, Cilacap juga bersejarah. Sebelum Jepang masuk, Belanda sudah mengapalkan ratusan pesawat-pesawat tempur ke Cilacap. Tapi tenggelam. Jadilah Belanda menyerah hanya dalam tiga hari setelah Jepang datang.
Sekarang, kota ini berisi fasilitas Pertamina, Perusahaan Semen, dan beberapa perusahaan Textile. Lahan Cilacap mayoritas dikuasai oleh Perhutani, Perkebunan Swasta dan PTPN IX. Ada yang unik di kota ini, banyak dokar di alun-alun kota menggunakan kambing domba sebagai penariknya.
Mungkin karena sudah berbatasan dengan Jawa Barat, kabupaten ini menggunakan nama mirip orang Jabar, menggunakan ci (air/sungai) dalam awalan nama. Itu pandangan saya saja berdasarkan pada pendengaran semata. Bisa jadi, nama Cilacap tidak ada hubungan sama sekali dengan tradisi penamaan di tanah sunda.
Di Cilacap (bukan kota), sayup-sayup dan bisik-bisik kembali saya mendengar tentang keberadaan orang Kalang. Kelompok masyarakat sub-etnik Jawa yang lebih suka menjadi pengusaha dan saudagar ketimbang menjadi petani. Waktu ”ngangsu kawruh” di Jogja dulu, saya pernah membaca Majalah Bulaksumur yang membahas orang Kalang. Menurut majalah ini, merekalah penghuni asli rumah-rumah Kota Gede yang besar dan megah sebelum dijarah akibat kerusuhan di masa lalu. Setelah kerusuhan tersebut mereka menyebar di Purworejo, Karisidenan Banyumas hingga tempat lain.
Seperti para pendahulunya, orang Kalang di Cilacap ini menjadi pengusaha dan saudagar sukses. Sayang, meski secara ekonomi mapan, secara sosial orang-orang Kalang tidak begitu disukai. Aneh ya. Menurut kebanyakan orang Jawa, orang Kalang itu berekor karena dulunya keturunan Anjing. Setiap malam jumat, ekor ini akan memanjang. Walah-walah, saya mana berani nanyakan hal mustahil begini ke orang kalang.
Memang sih, orang Kalang itu melarang kawin dengan bukan wong kalang. Itu mungkin salah satu sebab, orang Kalang tidak dianggap sebagai orang Jawa umumnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H