Soekarno, pernah berujar lebih baik negeri kepulauan ini tenggelam oleh lautan daripada dikuasai oleh kapitalisme kembali. Bapak bangsa kita ini memang anti dengan kapitalisme dan berniat mewujudkan Sosialisme a La Indonesia.
Soekarno melarang tanah-tanah dikuasai oleh asing. Sebab, Agrarische Wet 1870 bikinan kolonial telah membuat perkebunan dimiliki oleh perusahaan asing dan rakyat Indonesia hanya jadi Koeli. UU ini memberi konsesi kepada perusahaan selama 75 tahun.
Sekarang, perusahaan swasta boleh punya kebun berapapun tidak dibatas luasnya dengan konsesi 90 tahun. Sebab, dengan jangka waktu demikian akan memberi kepastian hukum. Kalau diperusahaan hutan pemerintah memberi konsesi waktu selama 100 tahun dengan alasan yang sama. Anehnya, petani harus dibatasi luas tanah pertaniannya.
Bukankah dengan wajah pembangunan ekonomi model ini dengan kata lain telah menyatakan bahwa pilihan bapak bangsa kita dahulu itu adalah ngawur dan tidak mendukung kemajuan ekonomi?
Selanjutnya, bapak Muhammad Hatta, beliau ini adalah penggagas pasal 33 UUD 1945. Menurut beliau, badan usaha rakyat Indonesia yang menjadi soko guru (tiang utama) perekonomian nasional adalah koperasi. Apa sekarang ada usaha sungguh-sungguh dari negara untuk membangun koperasi sebagai pelaku ekonomi utama? Koperasi tertinggal jauh dari badan usaha lainnya yang dengan mudah mengakses dana publik dari pasar modal, bank dsb. Koperasi? Lupakan saja....
Pasal 33 juga mengatakan bahwa cabang -cabang produksi yang penting yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Setiap tahun pemerintah sebagai penguasa wilayah memberikan wilayah-wilayah migas atau blok migas tersebut kepada perusahaan nasional dan asing tanpa pembedaan dan diskriminasi. Bahkan, sekarang produksi minyak dari hulu sampai hilir dibuka akses seluas-luasnya. Karena kalau dikuasai dan diusahakan negara akan menyalahi teori ekonomi. Negara kok jadi pelaku usaha, privatisasi saja!. Bukankah pendiri bangsa kita melawan teori ekonomi yang mengajak kepada kemajuan.
Menurut pasal 33, kekayaan alam tersebut dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kalau kekayaan alam yang telah dieksploitasi oleh perusahaan swasta dilepas ke masyarakat dengan harga yang ditentukan oleh pemerintah maka perusahaan itu akan merugi dan tidak mau investasi lagi. Jadi, harga minyak dan gas, misalnya yang dipakai rakyat harus sesuai dengan harga keekonomiannya. Kalaupun tidak bisa begitu, minimal perusahaan swasta boleh mengekspor gas dan minyak mentah tanpa harus diminta peduli kebutuhan dalam negeri. Jadi, salahsatu terjemahan dari pasal ini berupa subsidi adalah sebuah parasit ekonomi. Dengan begitu, Pasal 33 yang dibuat pendiri bangsa lagi-lagi anti kemajuan.
Begitu ya....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H