Air bergemericik mengalir deras di sela bebatuan seperti menjerit. Bagiku air ini sedang meronta, meminta tolong sebab menolak keras hukum alam yang memaksanya melaju kebawah. Lihatlah, gelombang-gelombang kecil yang disebabkan perbuatan mereka yang saling dorong mendorong hendak kembali keatas. Semakin keras mencoba, semakin cepat pula ia mengalir turun. Mungkin telah terdengar oleh mereka bisik-bisik, akhir perjalanan menghilir akan mempertemukan mereka dengan garam. Garam adalah najis yang membuat tubuh mereka tak pantas lagi disebut air.
Sementara batu-batu hitam diam tak peduli. Meski membisu, ia telah berusaha menolong air. Menghalangkan badan mereka. Apakah lagi yang bisa dilakukan batu-batuan selain tegak menghalangi laju air.
Sampai semuanya lelah di kedalaman.
Diatas sungai yang airnya telah menyerah. Aku memberi makan ikan-ikan sungai. Mudah saja, memberi makan ikan betok, belis dan tawes yang menyembul-nyembulkan kepala. Di atas jamban aku cukup mengedan mengeluarkan tinja sisa makan malam. Beginilah caraku berbagi kebahagian dengan ikan-ikan.
Seperi biasa, aku BAB sambil mengisap rokok kretek kegemaranku. Merokok saat mengedan adalah sarana membagi kerja otak termudah. Sebagian otakku meminta tubuh mengedan mengeluarkan kotoran, sebagian lainnya memerintahkan jiwaku merasakan nikmatnya hisapan rokok yang tinggal setengah. Dari dalam jamban aku menatap biru langit dan gunung di depanku. Biru berarti jauh. Sebab langit dan gunung di depanku selalu berwarna biru. Gunung dan langit didepanku adalah batas penglihatan. Benarlah keyakinan orang-orang selama ini, arti warna biru adalah sama dengan jauh.
21 Mei 2010
Menyambut Kongres si Biru....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H