Mohon tunggu...
Iwan Nurdin
Iwan Nurdin Mohon Tunggu... -

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)-Jakarta. www.adisuara.blogspot.com www.kpa.or.id

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dasar Balung Kere!

24 Mei 2010   05:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:00 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Tak pernah kuminta, orang-orang menjuluki diriku sebagai orang kaya baik yang pemurah. Sebab aku tak pernah menolak memberi pertolongan. Aku sadar sepenuhnya bahwa aku selalu memberi pertolongan pada orang-orang yang tepat.

Orang miskin di desa memang berbeda perangainya dengan orang miskin kota. Sebelumnya, aku pernah beberapa tahun menetap di Jakarta. Jadi aku tahu perangai orang miskin dari kota. Bagiku, tak lebih dari anjing-anjing yang bergegas melakukan apa saja ketika diberi makanan. Menyalak dengan bangga tak peduli siapapun tuannya. Sementara orang miskin di kampung. Berbeda. Aku tak tahu apanya yang beda.

Dahulu, aku mengira bahwa orang menjadi miskin karena memang ada yang tak beres dalam peruntungan mereka. Sejenis salah cetakan alias balung kere (tulang miskin). Sebab, semua orang miskin bermuka sama, terasa masam dilihat dan tulang-tulangnya membentuk tubuh yang seragam. Diberi pakaian pantas apapun, aku langsung tahu bahwa orang ini adalah kacung atau pembantu meski mereka dalam kendaraan atau rumah mewah sendiri tanpa majikannya. Orang ini pasti bukan pemilik, gumamku. Sebab, rumah dan kendaraan tuannya telah mencibir mereka setiap saat. Mungkin tubuhnya terlampau pas dengan seragam kemiskinan. Sehingga tak bisa sedikitpun menyaru.

Sementara, jika kuingat-ingat anak-anak muda kaum miskin yang saat ini sukses. Muka dan struktur tulang mereka memang sudah berbeda dari jamaknya wajah-wajah kelompok miskin. Bahkan sejak mereka masih kecil. Untunglah komedian sukses yang superkaya dan berwajah layaknya orang miskin dan kebanyakan segera menyadarkan kekeliruanku. Meski hati kecilku membantah. Wajah komedian itu telah tercetak untuk selalu tersenyum. Senyum tanpa aba-aba. Sementara orang miskin biasanya tak pernah membagi senyum, terasa prihatin untuk dilihat lama.

Satu persatu aku akan menanyai keperluan mereka. Setelah mendengarkan keluh kesah mereka, aku akan memberi beberapa petunjuk dan kiat praktis bagi mereka yang tengah menghadapi kesulitan.

Seperti pagi ini, Warno namanya. Masalahnya klasik, ia terbelit hutang dan anak perempuannya disekap, lebih tepatnya ditahan dan akan selalu begitu sebelum ia melunasi semua hutang-hutangnya. Maka aku akan kuliahi mereka, semuanya, bukan hanya Warno, bahwa setiap manusia berhutang itu diwajibkan untuk membayar. Tapi orang yang menagih hutang juga tidak boleh bertindak sewenang-wenang. Lalu kupanggil anak buahku untuk mencatat berapa hutang Warno, dan kepada siapa ia berhutang. Lalu kuminta Warno bicara lebih lanjut dengan orang keperecayaanku. Bergegas Warno pergi menuju suara orang kepercayaanku.

Selanjutnya, Yudi namanya. Usianya sekitar 27 tahun. Ia anak kampung kami yang sekarang menetap di sebelah kampung bersama istrinya. Adat disini memang mengharuskan laki-laki tinggal di rumah orangtua istri sebelum punya rumah sendiri. Mertuanya, telah memfitnah dirinya. Bercerita bohong kepada istrinya yang menjadi PRT di Hongkong bahwa uang kiriman istrinya dia pakai untuk main perempuan. Padahal, demi tuhan, meski keinginan ada tapi otak warasnya melarang. Mustahil saya berzina memakai uang hasil keringat istriku. Jelasnya memohon pengertian.

"Saat ini istriku meminta cerai", keluhnya lirih. Istrinya telah termakan hasutan mertuanya, gumamku dalam hati. Aku mengenal mertuanya. Surip dan Seni, sepasang laki bini kampung sebelah yang di kepalanya hanya mengenal kosakata yang berkaitan dengan kemilau rupiah. Meski rupiahnya cuma recehan. Aku yakin ia menghasut anaknya agar uang kiriman anaknya yang menjadi PRT tidak dikirimkan ke menantunya tapi ke mereka. Alasan yang paling masuk akal adalah mengumbar cerita bohong ini kepada anak perempuannya. Itulah harga dari kemiskinan yang membelit.

(Masih Meneruskan Belajar Menulis Prosa)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun