I always feel a responsibility to the people I write about. I feel obligated to portray them in the way they feel is proper. Heather Graham Pozzessere
Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh kebaikan dan keberkahan. Â Umat muslim mengisi dengan berbagai aktivitas ibadah. Â Semua sedang berlomba-lomba meningkatkan kualitas ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah, juga meningkatkan amalan dalam hubungan sosial. Â Masjid dan mushola menjadi ramai, sedekah melimpah, makanan dan minuman untuk berbuka mengalir dari berbagai pihak.
Itu semua adalah perwujudan cinta dari umat dalam menjalankan perintah Allah dan RasulNya. Â Cinta itu menghasilkan kepedulian, hasrat untuk berbagi, ingin membahagiakan orang lain. Â Cinta yang menggerakkan jiwa dan raga setiap muslim menjadi pribadi yang bertaqwa, untuk menyempurnakan akhlak sebagaimana teladan nabi Muhammad.
Perasaan cinta itu perlu dibawa ke dalam untaian kata dan kalimat seorang penulis. Â Seorang penulis harus melihat manfaat apa yang dapat diberikan kepada pembaca. Â Setiap pilihan kata harusnya memiliki cita rasa yang enak, style menulis membawa perasaan senang, fokus memberikan kesejukan, dan subtansi tulisan menambah ilmu dan pemahaman pengetahuan bagi pembaca.
Untuk itu, penulis juga perlu belajar banyak memahami pembacanya. Â Penulis melakukan pengendalian diri hingga pada keadaan tertentu, perlu menggali ilmu lebih dalam, menambah intelektualitas, agar menemukan hal-hal yang jernih, obyektif dan kemanfaatan bagi banyak orang. Â Penulis harus mengasumsikan ada pembaca yang lebih baik dari dirinya. Â Mereka ini juga harus memperoleh manfaat dari tulisannya. Â Penulis harus punya rasa malu, bila terdapat kesalahan, apalagi dibaca oleh guru atau orangtuanya. Guru itu secara moral menanggung malu karena muridnya tidak bisa mengendalikan diri. Â Ini saya sebut sebagai akhlak yang harus dimiliki seorang penulis.
Dalam banyak hal menulis mirip dengan berucap, yang bisa tidak terkendali atau emosi. Emosi dalam berucap dampaknya hanya kepada orang yang mendengar.  Namun tulisan yang emosional, provokasi, hoax, atau  membenci dampaknya bisa tidak terkendali.  Apalagi tulisan itu sengaja dimuat di media online atau website tertentu, kemudian sengaja dishare di media sosial.  Tulisan seperti itu, dapat memutus silaturahmi dan menciptakan disintegrasi umat.
Bulan penuh berkah ini dapat menjadi wadah untuk merenung, khususnya para penulis atau pengguna media sosial. Â Momentum ramadhan dapat menjadi waktu yang pas untuk refleksi diri dan meluruskan niat dalam menulis atau menggunakan media sosial. Dengan kata lain, menulis dapat pula diniatkan sebagai ibadah. Â
Bagaimana cara menulis sebagai suatu ibadah?
Menghadirkan cinta. Menghadirkan perasaan cinta kepada Allah dan RasulNya memandu seseorang selalu dalam ketundukan dan kerendahan hati. Â Sikap ini membuat manusia, pikiran dan hatinya tidak bermakna apa-apa. Â Ini diwujudkan dengan bahasa tulisan yang mengecilkan keduniaan, dan sebaliknya bermuara kepada pujian dan penghambaan kepada Allah, memuliakan Rasul, dan penghargaan kepada makhluk.
Jangan reaktif atau baper. Â Seorang pembaca atau penulis tidak boleh reaktif. Â Sifat ini dimiliki oleh orang pemarah atau melankolis. Bila seseorang sedang marah atau emosi, harus dijauhkan dari media sosial, karena ia tidak akan bisa menulis dengan jernih. Â Mengapa demikian? Â Karena pena seorang penulis bisa sangat tajam, menghujam atau bisa memilukan. Â Tulisan seorang pendendam bisa menghasut dan memecah belah. Â Tulisan orang melankolis bisa menghadirkan kedukaan. Â Tulisan orang yang baper bisa menghadirkan perasaan lebai bagi pembacanya. Â Tulisan orang yang kepo membawa pembacanya jengkel atau nyinyir. Memang, apa yang sedang dialami seorang penulis bisa mempengaruhi pembaca.
No tears in the writer, no tears in the reader. No surprise in the writer, no surprise in the reader. Robert Frost