Mohon tunggu...
Iwan Nugroho
Iwan Nugroho Mohon Tunggu... Dosen - Ingin berbagi manfaat

Memulai dari hal kecil atau ringan, mengajar di Universitas Widyagama Malang. http://widyagama.ac.id/iwan-nugroho/

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menikmati Kuliner Halal Thailand

26 Januari 2014   17:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:27 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Melakukan perjalanan ke Thailand senantiasa dihubungkan dengan wisata kuliner.  Informasi tentang hal ini sudah umum.  Kuliner Thailand umumnya cocok dengan lidah Indonesia dengan ciri-ciri kaya bumbu atau rempah-rempah, bersantan (gulai), goreng, panggang, pedas, asin, atau manis.  Hal ini disebabkan banyak faktor, antara lain kemiripan dua negara itu dalam hal ekologi (sama-sama vegetasi tropis), bergunung, berpantai, antropologi, atau potensi biofarma.  Itu semua membentuk budaya dan perilaku manusianya (merespon ekologi).  Yang tampak kasat mata adalah kuliner Thailand mirip dengan masakan Padang dalam hal penyajiannya.Kedekatan ciri kuliner  lainnya adalah soal harga. Harga makanan (dalam jenis, jumlah dan kualitas yang hampir sama) Thailand dalam beberapa hal dianggap lebih murah dibanding di Indonesia.

[caption id="" align="aligncenter" width="189" caption="http://www.kb.nl/"][/caption]

Perjalanan  penulis bersama rombongan 10 orang, adalah dalam rangka mengikuti pertemuan (ijtima) yang dihadiri jamaah tabligh seluruh dunia, yang diselenggarakan di distrik Khlong Luang, Pathum Thani, pada tanggal 17 hingga 20 Januari 2014. Lokasi ini berjarak 70 km ke arah utara kota Bangkok. Ada sekitar 32 ribu jamaah yang hadir, 2500 orang diantaranya adalah jamaah asing.

Untuk menemukan kuliner khas Thailand, tentu kami tidak perlu mencari jauh-jauh.  Kami sudah merasakannya dari menu makan yang disediakan oleh panitia ijtima. Makanan disajikan dalam nampan berdiameter 50 cm, dimana di tengahnya nasi dan disiram dengan sayur dan lauk, disajikan hangat atau panas. Penulis menikmati antara lain sayur santan labu plus ayam, sayur tomat kentang plus ayam, dan santan daging. Yang menyolok, menu Thailand penuh dengan bumbu-bumbu, sehingga bau dan rasanya sangat tajam.  Di atas nasi, biasa terlihat daun sere, cabai, laos, sayur atau lauk dipotong dalam ukuran besar.  Satu nampan untuk empat orang, dengan ukuran porsi berlebih.   Suasana makan “kembul” ini meningkatkan semangat dan hasrat nafsu makan, selain bermanfaat untuk silaturahim (1).

[caption id="" align="aligncenter" width="490" caption="Makan Kembul (koleksi pribadi)"][/caption] Tapi penulis juga mencoba menu-menu yang lain.  Semuanya tersaji di pasar kaget yang muncul di sekitar lokasi ijtima. Di luar momentum ijtima, lokasi ini sangat sepi. Warung-warung tenda menyajikan aneka masakan antara lain martabak, tom yam, sup, bakso, ayam panggang, sosis, nasi kabuli ayam, atau aneka sambel goreng dan tumis. Makanan tersebut tentu saja memenuhi syarat halal, ditandai stiker halal di etalase warung-warung tenda.  Ragam minuman dingin atau panas juga tersedia, misalnya teh susu, teh, kopi, atau sari buah kemasan.  Buah-buahan antara lain nanas, pisang, jeruk, jambu air, durian dan mangga. Tentu saja penulis tidak mencoba semuanya.

Terutama pada malam hari, suasana pasar dan warung-warung itu sangat ramai.  Hampir di semua warung makan ditemukan antrian panjang.  Nampaknya, hasrat berbelanja para jamaah pendatang sangat tinggi. Warung menjadi media silaturahim sambil memanjakan selera.  Kebetulan iklim di sekitar Pathum Thani sangat nyaman, cerah dan cenderung dingin, sehingga nyaman bercengkarama.  Penampilan para jamaah yang memenuhi antrian ini sangat menyolok, umumnya menggunakan pakaian muslim gamis, baju taqwa atau bersarung.  Momentum pasar kaget selama ijtima ini agaknya dimanfaatkan sebagai hiburan oleh warga lainnya. Adanya anak-anak dan ibu-ibu, menandakan mereka adalah warga setempat.  Karena memang tidak ada jamaah wanita di dalam ijtima ini.  Warga setempat menggunakan bahasa Thai sebagaimana yang penulis sering dengar di area Ijtima.  Perilaku dan cara berkomunikasi mereka, bila bukan karena alasan bahasa, hampir mirip seperti penduduk Indonesia.

[caption id="" align="aligncenter" width="458" caption="Koleksi pribadi"]

[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="441" caption="koleksi pribadi"]
koleksi pribadi
koleksi pribadi
[/caption] Penulis dan rombongan sempat mencoba sup daging sapi.  Bentuk dan rupanya mirip sup buntut. Penampilan etalase sup ini sungguh menarik.  Sup dimasak dalam dandang besar, yang diatasnya bertumpuk daging atau tulang matang seolah-olah diasapi.  Inilah yang membuat aroma menyebar menggugah selera.  Disinilah, racikan sup dimulai, yakni dengan mengiris atau memotong daging, meletakkannya dalam mangkok, menambahkan sambel cabai dan bumbu lainnya, serta menambahkan kuah yang mendidih.  Rasanya... tentu saja sangat berbeda, lebih tajam, lebih berani dan lebih pedas dibanding sup buntut di Indonesia.  Dalam kuah sup, selain dominan bawang bombai, juga ada butiran warna hitam rasa mint.  Bagi yang tidak tahan pedas, sebaiknya mengurangi kuahnya.  Lebih baik langsung menyantap daging atau iga, pasti lebih nikmat.  Di pedagang yang lain, sup dapat diberi kikil dengan rasa yang tidak kalah nikmatnya.  Jenis sup lain yang sudah dikenali di Indonesia, yakni tom yam.  Tom yam disini rasanya lebih tajam, manis, asam dan pedas.   Di dalamnya terdapat udang dengan kulitnya, irisan daging cumi, dan sejenis bakso ikan.  Rasa dan kesan makanan laut sangat kentara.  Kami juga sempat mencoba makanan berkuah sejenis bakso.  Cara meramunya adalah bihun ditempatkan dalam mangkok, diberi bawang daun, ditambahkan butiran bakso, baru kemudian disiram dengan kuah yang berisi daging.  Jangan kaget, kuah berwarna hitam seperti rawon.  Rasa bakso kurang lebih seperti semur, tapi nikmat juga.

[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="koleksi pribadi"]

[/caption] Ayam panggang Thailand juga patut dicoba.  Penulis sempat melihat proses penyajiannya.  Ayam mentah ramuan bumbu berwarna kuning disiapkan dari suatu wadah besar, terdiri bagian paha dan badan.  Tidak terlihat lagi jerohan, leher, kepala atau kaki ayam.  Jangan heran, ayam thailand ukurannya jumbo, hampir dua kali ukuran ayam Indonesia. Sekali panggang memuat kurang lebih 25 potongan ayam, dengan bara api yang panas dari hembusan kuat blower.  Berkali-kali ayam dibalik dan diberi bumbu tambahan dan dioles minyak zaitun, untuk memperoleh pemanggangan yang merata dan meresap. Dari alat panggang, ayam kemudian dipotong sesuai selera untuk disajikan. Hasilnya sungguh luar biasa, daging ayam empuk, tidak kering, rasanya lezat dan tidak amis/anyir.  Saat dimakan, hampir tidak ada bau atau rasa ayamnya, dagingnya lembut hampir seperti roti. Ayam disajikan dengan saus bening kemerahan, rasanya juga lembut.  Ayam dapat dimakan langsung atau bersama dengan nasi kuning atau nasi briyani,.  Nasi kuning ini mirip kabuli tetapi dengan bumbu rempah yang lebih kuat, seperti masakan timur tengah atau India. [caption id="" align="aligncenter" width="612" caption="Koleksi pribadi"]
[/caption]

Jenis makanan goreng lebih banyak memenuhi selera.  Masih jenis ayam, perlu dicoba ayam goreng.  Ayam ini umumnya diberi bumbu warna merah.  Penulis sempat melihat ayam mentah berbumbu merah ini dalam kemasan plastik kapasitas 50 liter.  Penulis menduga ini adalah produk masal pabrik, bukan hasil racikan sendiri oleh penjual.  Selama pengamatan di sekitar area ijtima ini, penulis menemui produk-produk olahan pangan yang berstandar tinggi.  Harus diakui posisi agribisnis Thailand beberapa langkah lebih maju dibanding negara kita.  Dari kemasan tersebut, ayam bumbu merah sudah terstandarisasi dalam hal ukuran maupun bentuknya, sama seperti ayam bumbu kuning yang untuk dipanggang.     Ayam tinggal digoreng di wajan panas sesuai selera.  Bagaimana rasanya? Tentu saja sangat nikmat, gurih, renyah dipermukaan, dan lembut dagingnya.

[caption id="" align="aligncenter" width="626" caption="koleksi pribadi"]

[/caption] Makanan goreng lainnya adalah martabak.  Bentuk dan rasanya mirip dengan martabak Indonesia.  Cara pembuatannya pun hampir sama, yakni adonan tepung  dipukul-pukulkan dan diulur untuk membentuk kulit, diletakkan ke wajan panas, diisi dengan adonan telor, daging dan bumbu, dan digoreng hingga matang.  Kekhasan bumbu, membuat rasa martabak Thailand lebih sedap dan gurih, disertai lembutnya tekstur kulit.  Saat dikunyah, martabak sangat lembut menyatu antara campuran daging giling dan bawang daun yang dominan.  Martabak disajikan dengan saus bening berisi acar dan bawang yang diberi minyak zaitun.

Gorengan untuk camilan banyak dijual adalah sate sosis, atau sejenis bakso (daging tepung olahan).  Sosis ini kemudian digoreng hingga matang dan siap disajikan dengan saus atau sambal.  Kualitas daging olahan dan bumbu menentukan rasa dan kesedapan makanan yang juga populer di Indonesia.  Penulis juga menemukan jajanan yang disukai anak-anak, yakni sejenis cilok, atau bakso mini.   Bedanya, makanan tersebut berwarna sangat lembut (tidak menyolok), menandakan proses pengolahan yang alami.

[caption id="" align="aligncenter" width="588" caption="koleksi pribadi"]

[/caption] Aneka minuman dan buah banyak dijual di sekitar lokasi ijtima.  Kami dan rombongan menyukai teh susu atau cai.  Minum cai adalah budaya masyarakat India, dan menjadi menu wajib setiap hari.  Cara pembuatan cai adalah dengan merebus susu segar (bisa susu sapi atau susu kerbau) di wajan, kemudian ditambahkan  teh, bumbu rempah dan gula. Setelah mendidih, cai dari wajan dipindahkan ke gelas.  Cai kemudian disajikan dalam gelas kertas (sekali pakai) seukuran 150 ml.  Adanya kepala susu yang menempel di gelas, memberikan sensasi dan nikmatnya minuman hangat ini.   Penulis juga sempat membeli sari buah jerus kemasan botol.  Rasanya juga enak, segar dan manis.  Tidak lupa kami juga sempat membeli pisang, jeruk dan jambu air.  Meskipun dijual di pedagang kaki lima, kondisi buah itu bersih dan segar.  Setiap satu kilo, harga untuk jeruk 10 bath, dan jambu air 5 bath (1 bath setara Rp 385).

[caption id="" align="aligncenter" width="590" caption="koleksi pribadi"]

[/caption] Harga-harga makanan umumnya sangat murah dan terjangkau.  Kami berjumlah sebelas orang, pernah makan dengan menu sup daging per orang, ayam panggang dua porsi, martabak empat porsi, bakso dua porsi, plus cai per orang, dikenakan 900 bath, atau setara 350 ribu rupiah.  Itupun sudah termasuk nasi briyani untuk setiap orang.  Kasir memberikan layanan yang cukup menghibur kepada pembeli, yakni dengan memberikan diskon.  Harga 900 bath adalah bersih setelah didiskon.   Suatu cara yang cukup mengena dan berkesan positif kepada pembeli. [caption id="" align="alignnone" width="595" caption="Buah Asem (tamarin) (koleksi pribadi)"]
Buah Asem (tamarin) (koleksi pribadi)
Buah Asem (tamarin) (koleksi pribadi)
[/caption]

Rombongan kami sempat berencana mengungungi Thalathai market, yang terletak hanya 3 km dari area ijtima.  Tapi rencana ini batal karena keterbatasan waktu.  Thalathai market adalah pasar agribisnis yang mempertemukan produsen dan konsumen (termasuk eksportir) dalam transaksi produk-produk agribisnis, antara lain sayur, buah, komoditi pangan, komoditi perkebunan, daging, serangga, satwa, dan berbagai produk olahan dan penunjangnya.

[caption id="" align="aligncenter" width="273" caption="koleksi pribadi"]

[/caption] Penulis meyakini agroindustri di Thailand telah maju.  Ini yang mendukung bergeraknya sektor hilir dan penunjangnya.  Pemerintah juga sangat serius menyediakan infrastruktur (jalan, telekomunikasi, listrik, air bersih) untuk mempercepat distribusi dan menghubungkan pusat-pusat wilayah pertanian di kawasan negeri.  Akibatnya, jasa makanan minuman (jasa boga, hotel, restoran, warung makanan) dengan mudah dan murah memperoleh bahan baku atau produk olahan yang siap dimasak.  Tidak heran bila kuliner Thailand berkembang dan dikenal banyak orang.  Ayam, sosis, atau sari buah, hanyalah sebagian dari industri pertanian Thailand.  Thailand dikenal memiliki konglomerasi berbasis agribisnis yang terbesar di asia, yakni Charoen Pokphand.  Kini group itu juga bergerak dibidang distribusi, ritel dan telekomunikasi.  Industri pertanian Thailand mengekspor hasil-hasil olahan seperti bumbu, rempah-rempah, dan produk lainnya ke Eropa.  Dalam kunjungan ke kota Praha, Ceko, tahun 2010, penulis menemukan di berbagai tempat di tengah kota, yakni restoran Thailand, Thai massage, Thai spa, atau salon kecantikan Thai (Thai house of herbal beauty).   Ini telah menjadi pilihan lifestyle penduduk kota Praha.  Wisatawan atau orang-orang Asia untuk memuaskan seleranya menempatkan restoran Thailand sebagai pilihan utama. Tulisan terkait:
  1. Bertemu saudara muslim di Thailand: (1) Meningkatkan iman dan taqwa
  2. Bertemu saudara muslim di Thailand: (2) Makan kembul dan silaturahim

Malang, 26 Januari 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun