Hari raya kurban adalah momentum mengenang perjuangan nabi Ibrahim. Â Melalui mimpi, Ibrahim diperintah Allah untuk berkorban dengan menyembelih anak yang dicintainya, Ismail. Â Nalar/rasio tentu tidak mampu memahami pesan mimpi itu. Â Tetapi keimanan dan ketaqwaan yang ada dalam hati Ibrahim, bukan rasionya sebagai manusia. Ibrahim pun melaksanakan perintah Allah itu.
Allah kemudian mengganti Ismail dengan domba sebagai hewan kurban. Â Ibrahim pun semakin dikasihi Allah, diberi kemuliaan, dan dikabulkan doa-doanya.Â
Ketaqwaan Ibrahim adalah realisasi cinta Ibrahim kepada Allah. Kehidupan ibrahim sangat penuh cinta kepada Allah. Â Cintanya Ibrahim kepada Allah terimplementasi dalam kehidupan yang berdimensi luas, misalnya berbakti ke orangtua, suka berderma, memuliakan tamu, menuntut ilmu, keluarga yang taat, dan kepemimpinan (lihat disini). Langkah kehidupannya hanyalah untuk Allah, beribadah kepada Allah. Â Hati, pikiran, dan perilakunya senantiasa dilandasi untuk keridhaan Allah SWT. Ia kesampingkan urusan dunia, kekuatiran, atau ketakutan akan dunia.Â
Pesan cinta nabi Ibrahim dalam momentum Idul Adha ini selalu relevan untuk diimplementasikan dalam kehidupan, sepanjang jaman umat manusia. Â Mengapa, karena manusia senantiasa lebih mementingkan rasio dibanding cinta kepada Allah. Â Akibatnya, pikiran manusia senantiasa terisi urusan rasio, perihal materi dan keduniaan. Â Manusia cenderung tidak ikhlas, tergantung manusia lain, terbelenggu kepentingan kelompok, dan urusan rumit yang dibuat sendiri.
Semangat kurban adalah memberikan yang terbaik, semata-mata untuk keridhaan Allah. Â Seorang buruh cuci, dengan penghasilan terbatas, berupaya membeli hewan kurban. Â Jerih payahnya itu adalah untuk memberi yang terbaik, melebihi kemampuannya. Â Buruh cuci itu sangat memahami pesan cinta nabi Ibrahim.
Bekerja keras dengan ikhlas, bekerjasama harmonis, dan mematuhi norma atau peraturan/organisasi, adalah proses untuk memberi yang terbaik, mencetak prestasi yang positif. Â Bekerja disertai kesungguhan, juga bagian dari implementasi cinta kepada Allah. Â Hasilnya selain untuk manfaat sosial, juga menjadi catatan amal baik..
Masalahnya, manusia sering lupa. Â Manusia lebih sering mengeluh, bekerja kurang sungguh-sungguh, ingin hasil instan, dan menyalahkan orang lain. Â Hati manusia itu sedang tidak ada cinta, juga melakukan kesalahan berlipat. Â Ia sedang mematikan kalbunya dari nur illahi, dosa karena berburuk sangka, kinerja individu buruk, asosial dan menjadi manusia merugi. Â Ia sedang menciptakan masalah dan terbelenggu dengan masalahnya. Â Â
Kepatuhan terhadap etika dan norma Allah, adalah pondasi untuk melahirkan cinta dan keikhlasan dalam berkorban. Â Implementasi norma membuat hati senantiasa rendah hati atau tawaduk, melahirkan sikap menghargai dan mencintai, serta mengembangkan akhlak mulia. Â Agama terwujud dalam kehidupan yang berakhlak mulia, bersosialisasi dengan orang lain, suka tersenyum, menghargai dan membantu.
Orang yang penuh cinta juga senantiasa mengembangkan akhlak. Â Hati yang penuh cinta, membuat mudah berkorban untuk kemanfaatan sosial atau orang lain. Â Harta, ilmu, jiwa dan raga siap disumbangkan dengan ikhlas.Â
Cinta melahirkan kepedulian. Â Orang yang lemah dibantu hingga mandiri. Orang yang tersesat, dikembalikan ke jalan yang benar. Â Â Sistem yang kurang baik bersama-sama disempurnakan. Â Semua orang didoakan untuk menjadi terbaik. Â Semua manusia dianggap sebagai tamu Allah, siap untuk dimuliakan dan diagungkan, sebagaimana nabi Ibrahim mengajarkan untuk memuliakan tamu.
Berikan cinta dan pengorbanan kepada keluarga, suami/istri, orangtua, dan anak-anak, untuk mencapai keridhaan Allah SWT. Â Kembangkan akhlak mulia dalam lingkungan kerja/organisasi, berikan cinta dan pengorbanan untuk memberi manfaat sosial. Â Jangan takut berkorban untuk memberi yang terbaik, untuk keridhaan Allah. Â Allah akan menggantinya dengan kemuliaan dan manfaat yang berlipat. Â