Pilkada 2024 ini nampaknya berjalan tidak biasa. Â Pilkada ini betapa masih menyimpan sisa-sisa atau implikasi dari pilpres/pileg. Â Ditambah dengan putusan MK yang menurunkan threshold untuk mengusulkan calon Gubernur dan bupati/walikota, telah menghasilkan perubahan konfigurasi baru dari partai koalisi termasuk pilihan pasangan wakilnya.
Yang menjadi sorotan kini adalah Pilkada khususnya di Jawa, lebih khusus lagi di Provinsi DKI Jakarta.  Gubernur DKI Jakarta dianggap sebagai panggung, dan jembatan untuk mengantarkan kepemimpinan nasional 2029.  Di  DKI, calonnya bisa Anis Baswedan, Ridwan Kamil, Ahok, atau Pramono.Â
Di Banten, ada nama ibu yang populer, Airin. Â Di Jateng ada nama mentereng Andika Perkasa dan Ahmad Lutfi. Â Di Jatim ada nama Khofifah. Â Mungkin masih ada nama yang masih disimpan. Â Kita sedang tunggu siapa yang didaftarkan secara definitif di KPUD.
Politik itu memang unik, mengejutkan dan begitulah adanya. Â Di satu sisi, sorotan ditujukan kepada calon kepala daerah, di sisi lain kekuatan ada pada partai atau koalisi pendukungnya. Â Saat ini, menuju deadline pendaftaran calon, semua sedang sibuk dalam diam, saling berkomunikasi, adu argumentasi, saling tawar dan meminta. Â
Bahasa awamnya, proses sedang berjalan, akan mencapai suatu keputusan, membangun penyesuaian, dan mencapai keseimpangan baru. Â Konflik batin dan pemikiran akan mendewasakan demokrasi Indonesia.
Pilkada 2024 juga dapat dipandang strategis. Â Mengapa? Â Karena Pilkada ini juga menjadi sumber kepemimpinan nasional lima atau 10 tahun ke depan. Â Atau paling tidak, track record calon-calon kepala daerah saat ini akan termonitor terus, akan disorot kenerjanya, diamati perilaku, dicatat ucapan-ucapannya. Â
Karenanya calon kepala daerah harus berhati-hati, bisa menempatkan diri, mampu menunjukkan kepasitas dan kinerjanya di tengah pusaran dan dinamika politik, serta hubungan dengan partai politik pendukungnya.
Seseorang calon kepala daerah harus mampu bersikap fleksibel dan luwes, selain integritas dan kenerjanya yang baik. Pemimpin yang luwes dengan komunikasi yang baik akan menampilkan daya tarik bagi partai atau koalisi pengusungnya; dan memberi nilai positif (elektabilitas) bagi calon pemimpin tersebut. Â
Sebaliknya, pemimpin yang kaku, kontroversial atau elitis, sekalipun memiliki intelektual dan elektabilitas mungkin akan tidak menarik bagi partai atau koalisi pengusungnya.
Tulisan ini tidak bermaksud sedang menilai nama-nama calon kepala daerah itu, apakah lebih luwes dibanding lainnya; kerjanya lebih lebih nyata dibanding lainnya, orang partai atau bukan, atau karier lebih baik dibanding lainnya. Â Namun, penilaian ini menjadi relevan, karena parpol pengusung pasti melakukan evaluasi menyeluruh tentang calon. Â Jadi dalam tahap ini, parpol sudah bekerja begitu komplek dan rumit, termasuk menilai bibit, bebet, dan bobot sang calon. Â Â
Mengapa parpol begitu selektif memilih calon yang diusung. Â Tentu banyak pertimbangan, tidak sekedar alasan strategi koalisi partai atau elektabilitas si calon. Â Partai PDIP sebagai contoh, sangat mengandalkan kader untuk menjadi calon kepala daerah. Â