Saya bersyukur berkesempatan untuk datang ke gunung Bromo atau berbagai tempat di wilayah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TN BTS). Mungkin sudah lebih dari sepuluh kali sejak sepuluh tahun lalu (1, 2, 3). Â Tempat ini memang selalu berkesan, mengagumkan dan indah. Â Keindahannya tidak berubah, seolah memberi pesan kepada saya untuk datang dan datang lagi.Â
Kemarin saya datang kembali ke gunung Bromo (11/2/2017). Â Itu pun tidak terencana. Â Ini atas usul mendadak salah seorang yang mengatakan belum pernah ke Bromo. Â Tujuan utama kami adalah mengunjungi sekaligus menutup kegiatan KKN kampus Universitas Widyagama Malang, di desa Wringinanom, kecamatan Poncokusumo, kabupaten Malang. Â Begitu kegiatan utama selesai. Â Kami pun berangkat naik ke Bromo, yang berjarak tidak lebih dari 20 km. Â Jarak dari desa ke gunung Bromo memang dekat, namun perlu sekitar 30 menit hingga lautan pasir, dengan jalannya berliku dan bergunung atau berbukit.
Kami lima belas orang naik ke gunung menggunakan tiga mobil jip hardtop. Â Mobil jip sudah siap di lokasi KKN. Â Karena mendadak, kami tidak mempersiapkan diri, umumnya menggunakan pakaian kantor tanpa jaket khusus. Â Kami berangkat dari desa sekitar jam 12.30.
Perjalanan hingga melewati desa Ngadas aman-aman saja, dengan cuaca mendung tebal. Â Driver bernama pak Arif bercerita banyak tentang Bromo dan lingkungan budaya dan alamnya. Â Kebetulan pak Arif ini adalah ketua paguyuban jip Malang dengan anggota sekitar 250 jip. Â Sebagaimana biasanya, setelah Ngadas jalurnya makin sempit, apalagi pas di punggung bukit di atas Ngadas. Â Disini selalu ada rasa was-was karena di kiri atau kanan berupa jurang terjal. Â Namun umumnya driver ke arah TN BTS umumnya sangat menguasai medan.
Gerimis mulai berganti menjadi hujan. Â Kami pun bergegas naik mobil jip untuk melanjutkan perjalanan ke gunung Bromo. Â Tiba-tiba pak Arif meminta saya untuk duduk di kursi driver, maksudnya untuk pegang setir dan mengemudi. Â Haahh..saya kaget. Â Antara ragu dan bimbang, juga kuatir. Â Tanpa pikir panjang saya terima tawaran itu.
Pak Arif bisa membaca kesulitan saya itu, sehingga beliau membantu menjadi navigator. Â Kaca wiper juga tidak cepat menyapu kaca. Beberapa kali pak Arif ikut mengelap kaca mobil karena pengaruh uap embun. Â Beberapa kali mobil bergoyang, melompat, menukik diiringi teriakan lima teman yang duduk di belakang. Â Pak Arif beberapa kali minta kecepatan mobil ditambah, terutama saat melewati genangan. Â Woww...teman-teman berteriak lebih kuat.Â
Namun di belakang teriakan gembira itu, saya sebenarnya merasakan kekuatiran mereka. Â Bagaimanapun saya masih pemula, tidak trampil seperti pak Arif. Â Keselamatan penumpang tergantung dari pengemudinya. Â Ini adalah bagian dari filosofi kepemimpinan. Â Ilmu pengetahuan atau ketrampilan adalah bekal seorang pemimpin untuk memberikan perlindungan dan kebaikan. Â Saya harus memastikan ini berjalan aman dan nyaman.
Kami masih setengah perjalanan di lautan pasir. Â Hujan mulai reda. Pemandangan alam seolah senja bila melihat gelapnya permukaan pasir oleh hujan, namun masih bernuansa terang di udara langit. Â Saya mulai menikmati menjadi offroader, mulai mengenali kopling dan rem, dan menguasai setir untuk menjelajah medan. Â Teman-teman di belakang juga sudah mulai nyaman.