Hari Sabtu (17 September 2016) minggu yang lalu, saya mendapat kesempatan menonton Festival Gandrung Sewu, di Banyuwangi. Festival ini rupanya acara tahunan, sudah digelar sejak tahun 2012. Tiket telah disiapkan oleh teman yang tinggl di Banyuwangi. Memang, nama Banyuwangi makin saja kesohor dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini. Faktor kedekatan jarak dengan Bali, mampu dioptimalkan menjadi wilayah tujuan alternatif wisata selain Bali.
Istilah gandrung memang melekat dengan budaya Blambangan, Osing atau Blambangan. Kekuatan budaya ini menjadi potensi wisata dan menarik wisatawan pergi ke Banyuwangi. Tarian gandrung sudah banyak dikenal. Gandrung, dalam bahasa Jawa bermakna senang, menyukai atau menyintai.
Sekitar jam 11.30, saya sudah berada di pantai Boom, tempat dimana festival gandrung diselenggarakan. Saat itu juga mulai berdatangan para penari gandrung, yang kebanyakan berusia sekolah SMP. Pantai Boom kabarnya akan menjadi andalan lokasi wisata Banyuwangi, mungkin ingin menyerupai pantai Ancol, dimana memiliki wahana air dan fasilitas wisata lainnya.
Di lokasi festival sudah disiapkan area terbuka atau lapangan seluas sekitar 1 ha. Ini adalah tepat di bibir pantai, dengan latar belakang laut membiru Selat Bali, serta pulau Bali yang berjarak hanya kurang 1 km dari pantai Boom. Heran saja,.. lapangan kok begitu luas .. kalau hanya untuk menari. Siang itu juga panas matahari sangat terik, terbayang betapa tidak nyaman suasananya.
Undangan festival gandrung sewu ini sebenarnya jam 13.00. Tapi entah kenapa acara baru terselenggara sekitar jam 15.00. Beruntungnya, sajian panggung mengalir terus dengan hiburan penyanyi lokal, yang tentu saja menyanyikan musik Banyuwangian.
Begitu acara dimulai, saya terkaget ketika pembawa acara menjelaskan bahwa jumlah penari yang terlibat mencapai 1200 orang. Wooow.. ini tari kolosal. Tema cerita tari Gandrung Sewu ini adalah Seblang Lukinta, yang memiliki makna berjuang melawan penjajahan Belanda. Tema ini mungkin masih berkaitan dengan peringatan hari kemerdekaan di bulan Agustus.
Gerak tari dan musik Gandrung nampak seperti perpaduan seni Bali dan Jawa. Hentakan-hentakan nada gandrung mirim kecak Bali, termasuk suara para sindennya. Suara sinden melengking dan menggema berat seolah memberi muatan mistis. Para penari menggunakan busana kebaya dan atribut seperti kipas dan kain selendang lebar untuk membentuk warna, formasi dan komposisi tertentu. Kostum busana dan atribut umumnya menggunakan warna dominan merah dan putih. Musiknya pun sangat menghentak, lebih pada irama sampak, yang menekan dan keras. Mungkin maksudnya untuk mengiringi suasana heroik dalam cerita.
Setiap penonton hampir selalu berdiri sepanjang pertunjukan karena ingin menikmati gerak tari yang dinamis di segala arah lapangan. Tangan penonton diangkat naik hanya untuk memposisikan gadgetnya agar bisa mengabadikan momen kolosal yang amat langka ini. Gerak para penari memberi kesan yang dinamik, eksotik dan cantik. Kipas para penari yang serempak digerakkan seolah membentuk formasi gelombang laut, bunga, dan bentuk lain yang indah.