Mohon tunggu...
Iwan Nugroho
Iwan Nugroho Mohon Tunggu... Dosen - Ingin berbagi manfaat

Memulai dari hal kecil atau ringan, mengajar di Universitas Widyagama Malang. http://widyagama.ac.id/iwan-nugroho/

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Memori Hidup dan Bermain di Makam

8 Juli 2016   10:14 Diperbarui: 9 Juli 2016   09:34 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kuliner Krembangan, dekat makam Mbah Ratu Kalianak, Surabaya (koleksi pribadi)

Momentum lebaran atau mudik, senantiasa membangkitkan kenangan masa kecil. Lingkungan rumah membuka memori tentang banyak hal. Saat masa kecil saya tinggal di kota Surabaya. Kami tinggal di pemukiman dekat makam Mbah Ratu Kalianak, dekat jalan Demak (kordinat googlemap -7.233324, 112.721920). Nama Mbah Ratu diambil dari suatu makam di dalam klenteng Mbah Ratu, di komplek yang sama.  Jarak dari rumah ke makam hanya sekitar 40 meter.  Makam itu luasnya kurang lebih tiga hingga empat hektar, dan merupakan makam tua di Surabaya.

Lokasi makam Mbah Ratu Kalianak (googlemap)
Lokasi makam Mbah Ratu Kalianak (googlemap)
Sebagaimana tradisi umumnya saat Lebaran, makam ini menjadi ramai oleh ziarah umat muslim, baik tua muda, laki perempuan, yang datang sendirian maupun berombongan. Namun, kali ini saya tidak menulis perihal ziarah itu.

Pada sekitar tahun tujuhpuluhan, lingkungan pemukiman dan kehidupannya masih sangat sederhana, ekonomi lemah, miskin atau sedikit ndeso, meskipun ada di kota. Saya masih sekolah SD.  Karena itu, makam seolah menjadi ruang hidup sosial dan ekonomi bagi orang-orang sekelilingnya. Banyak orang mengandalkan makam untuk mempertahankan kehidupan, misalnya tunawisma, pengemis, pengangguran, tukang bunga, warung, tambal ban, atau tukang rumput. Fenomena ini masih terlihat di makam-makam di perkotaan hingga saat ini.

Makam Mbah Ratu Kalianak, Surabaya (koleksi pribadi)
Makam Mbah Ratu Kalianak, Surabaya (koleksi pribadi)
Di sekitar pemukiman, juga ada tetangga yang memelihara ternak kambing.  Mereka menggembala kambing juga di makam itu, kambing-kambing itu berangkat pagi dan pulang sore hari, mirip seperti jam kerja manusia ..he..he.  Di makam itu banyak ditemui macam-macam hewan dan ternak, ada ayam, dan juga angsa.  

Kami sering menggoda angsa milik penjaga makam.  Angsa putih berleher panjang itu, kalau marah mengejar kami sambil menjulurkan paruhnya.  Pokoknya seru.  Terkadang di makam juga ada bangau, karena lokasinya dekat rawa bozem Kalianak.  Itu sebabnya juga banyak pemburu bangau dengan senapan angin datang ke makam ini.  Yang paling banyak adalah burung gereja.   

Makam Mbah Ratu Kalianak bagi saya saat itu, bukan suatu lingkungan yang menakutkan. Makam adalah tempat bermain. Saya dan teman-teman sebaya bermain apa saja, yang murah meriah. Kami bermain bola, karena saat itu ada sedikit lapangan kecil di tengahnya. Kami juga bermain layang-layang, pate lele, baksodor, atau kelereng, atau sekedar bercanda. 

Bapak ibu mengijinkan saya bermain di makam sekitar mulai jam 3 sore hingga menjelang maghrib.  Sementara teman-teman nampaknya bebas bermain seharian sesukanya.  Di makam juga banyak pohon-pohon rindang, cocok untuk bermain atau melepas lelah, di tengah lingkungan Surabaya yang memang panas. 

Yang menarik adalah saat main layang-layang. Kondisi udara terbuka, membuat angin yang kuat untuk menaikkan layang-layang di sekitar makam. Paling senang, saat ada orang yang menerbangkan layang sowangan. Sowangan adalah layang berukuran besar dengan benang pita yang dapat menghasilkan bunyi desing yang keras, yang berbentuk hewan bergambar atau animasi tertentu, Layang ini harus dinaikkan oleh beberapa orang dewasa atau anak-anak.  Saat layang berhasil naik itu kita semua bersorak ..terhibur, riang gembira.  Hiburan yang benar-benar murah meriah.  Layang besar ini dibiarkan terbang hingga berhari-hari.

Banyak juga bermain adu layang.  Layang-layang itu sengaja disambitkan (dilawankan) untuk mencari pemenangnya.  Layang yang kalah disebut tébal, atau putus, terbawa angin.  Disini juga menjadi adu strategi dan nyali untuk berebut layang putus itu.  Tua muda berebut layang itu.  Kaki-kaki kami sangat trampil berlarian di atas gundukan tanah dan batu nisan, atau selokan.  Cara merebut layang putus, bukan mengejar layangnya, tetapi mencari benangnya.  Saya termasuk kurang trampil dalam hal ini.  Namun, saya pernah juga merebut layang itu.  Rasanya bangga seolah menjadi juara. He..he

Saya tidak jarang juga ke makam untuk sekedar menyendiri, menikmati lingkungan yang hijau sambil membawa buku bacaan. Saya duduk membaca di bawah pepohonan, sambil menunggu kedatangan teman-teman. Menyendiri..hi.hi.. orang sekarang menganggap seolah-olah mencari wangsit  Sejak kecil saya memang diajarkan untuk menyukai membaca, bacaan apa saja.  Karena ibu dan bapak tahu lingkungan pergaulan kami sangat tidak kondusif untuk belajar.

Mungkin pembaca bertanya, apakah saya tidak punya perasaan takut.  Tentu saya juga takut.  Takut bukan karena hantu, atau mayat.  Di lingkungan makam seperti ini, banyak peluang terjadi kriminal, sebagai tempat kejadian perkara atau tempat sembunyi kejahatan. Seusia anak umumnya, saya saat itu takut dekat orang-orang yang tidak kenal, yang berwajah seram atau korak (istilah mengacu ke preman). Lokasi makam juga dekat dengan komplek prostitusi Bangun Rejo (yang sekarang sudah tutup). Lingkungan kemiskinan menjadi penyebab utama kriminal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun