Seorang penderita asma, yang sedang mengalami sesak napas, sungguh sangat menderita. Â Napasnya tersengal-sengal, badannya sakit semua, tulang pundak dan punggung loyo. Â Ketika beraktifitas, rasanya terhambat, tidak mampu, energinya habis hanya untuk mengambil napas. Â Jangankan beraktivitas fisik, untuk berbicara saja rasanya berat, ia akan menata ucapannya sesuai iraman napas. Â Saat tidur pun ia mengalami kesulitan, karena posisi berbaring membuat jalan napas makin sulit.
Namun mereka yang sesak napas masih bisa berpikir. Â Asal ia sabar, maka kemampuan berpikirnya juga normal. Â Bahkan meski sesak napas, penderita juga dapat menulis. Â Berpikir dan menulis relatif sedikit menggunakan tenaga, dan relatif tidak mengganggu pernafas.
Itulah sebabnya, penderita sesak napas lebih banyak diam. Â Aktivitasnya menjadi lamban. Â Jalannya pelan, seolah-olah menata langkah. Â Mengapa ini terjadi, tentu ada alasan medis yang bisa menjalankan. Â Tulisan ini mencoba mengambil pelajaran dari penderita sesak napas.
Apa yang harus dilakukan oleh penderita sesak napas? Â Ia harus melakukan manajemen tertentu agar ia segera sembuh dan pulih kembali.
Pertama, penderita sesak napas harus pergi ke dokter. Â Dokter akan memberi terapi medis untuk meringankan dan mengobati sesaknya. Â Ini bermakna, bahwa seseorang harus mendekat kepada orang yang berilmu atau lingkungan yang berilmu. Â Ilmu itulah yang akan memberi solusi kehidupan. Â Seseorang harus banyak membaca, pergi ke perpustakaan, atau datang ke majlis ilmu. Â Penguasaan ilmu sosial, teknologi atau manajemen akan membuat orang menjadi maju, organisasi menjadi unggul, dan produktivitas meningkat.
Kedua, penderita sesak napas harus bersabar dan diam. Â Dalam kondisi sesak napas, kemudian orang itu emosi, maka makin menyiksa dirinya. Napasnya makin tersengal, dan makin sulit mengendalikan diri. Â Ini bermakna bahwa seseorang harus banyak-banyak bersabar dan diam di dalam hidup. Â Sabar adalah bukti keimanan dan ketaqwaan tertinggi. Â Diam adalah emas, atau mulia. Â Dalam sabar dan diam itu dapat lahir pikiran yang jernih, obyektif dan terkendali. Â Diam bukan berarti pasif, tetapi pikirannya sedang membangun sikap-sikap ilmiah, premis, logika, sistematis dan komprehensif.
Ketiga, dokter biasanya memberi saran untuk berjemur di sinar matahari pagi. Â Ini biasanya dimaksudkan agar badan pasien menghangat, dan kemudia napas menjadi sedikit longgar. Â Ini bermakna seseorang harus melepaskan diri dari lingkungannya, dengan berpindah fisik, pergi atau rekreasi. Â Seseorang perlu melakukan bechmarking atau mengukur kemampuan dirinya, memetakan posisi dirinya di dalam lingkungan atau masyarakat. Â Hasil introspeksi ini biasanya berwujud perubahan sikap dan perilaku agar lebih maju dan produktif. Â Hal ketiga ini biasanya sangat sulit dilakukan oleh orang yang egonya tinggi, yang selalu menolak perubahan.
Keempat, seorang yang sedang sesak selalu memikirkan pernafasannya, bunyi ngik ngok dalam napasnya, atau deru udara di saluran napasnya. Â Kalau pikirannya hanya ini, maka makin menderita hidupnya. Â Pikiran itu harus dilepas, diganti memikirkan hal lain. Ini bermakna bahwa seseorang yang menghadapi permasalahan, tidak perlu larut dalam masalah itu. Â Pikirannya harus dialihkan dan diikhlaskan menyelesaikan urusan lainnya. Â Misalnya seseorang kehilangan kunci, maka sebaiknya ia alihkan dengan hal lain, misalnya membaca atau kerja lainnya. Â Kunci itu pasti akan ditemukan. Â Kalau sedang suntuk, yang paling baik adalah mengalihkan pemikiran ke ilmu dan pengetahuan, membaca, atau menulis.
Malang, 21 Juni 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H