Penulis akhir-akhir ini sering mikir tentang suatu jenis makanan baru, namanya sempol. Â Hampir setiap hari, selalu ketemu dengan penjual sempol di depan gang dekat rumah. Â Memang agak aneh namanya. Â Sempol ini seperti jenis makanan lain, seperti cilok, cimol, atau sosis; suatu panganan atau camilan yang disukai hampir segala usia, khususnya anak-anak. Â Makin aneh melihat bentuknya. Â Sempol ini seperti sate, namun panjang tusuknya...woow yang cukup besar dan teramat panjang.
Makanan sempol dibuat dari campuran ayam giling/kornet dan tepung tapioka, yang diberi bumbu yang tentu gurih dan lezat rasanya. Â Ini seperti sosis ayam atau sapi. Â Campuran adonan itu kemudian dibentuk bulat panjang dan ditusukkan pada ujung bambu. Â Tusuk bambu panjangnya mencapai 40 cm, sementara tepung sempol terletak diujungnya hanya sepanjang 10 cm.Â
Agar siap disantap, maka sempol harus dicelupkan dulu di dalam kocokan telor ayam, dan kemudian digoreng. Â Sempol goreng inilah yang nikmat rasanya, terlebih ditemani dengan saos tomat atau cabai, dan minuman teh hangat atau sari buah.Â
Sensasinya adalah saat makan itu, tangan dapat kuat memegang tusuk mambu.  Begitu ujung sempol masuk di mulut dan tergigit oleh gigi, tangan dapat menariknya kuat, seperti makan sate. Istilah sempol itu sendiri bermakna paha ayam.  Bentuk adonan sempol pada ujung tusuk bambu, seperti paha ayam.  Namun kenyataannya, setelah digoreng  bentuknya hilang dan tidak jelas.
Penjual keliling atau menetap menyiapkan kompor untuk menggoreng sempol. Â Penjual sempol yang menetap, khususnya di tempat-tempat wisata, banyak ditemui. Â Mereka biasanya menyajikan sempol bersama makanan bakso, sosis, cimol atau cilok.
Penulis sepintas berpikir, sempol ini sangat membahayakan lingkungan. Â Tusuk bambu yang panjang, dan dengan ukuran besar, pasti membutuhkan ketersediaan bahan baku bambu yang melimpah. Â
Di Malang Selatan atau wilayah lainnya tersedia banyak bambu. Â Namun kebutuhan bambu juga untuk berbagai keperluan. Â Kabarnya harga bambu di Malang cenderung naik bersamaan dengan makin populernya panganan sempol ini. Ini masih perlu dibuktikan kebenarannya.
Kalau ke Malang, jangan lupa nikmati sensasi sempol.
Malang, 16 Juni 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H