Mohon tunggu...
Iwan Nugroho
Iwan Nugroho Mohon Tunggu... Dosen - Ingin berbagi manfaat

Memulai dari hal kecil atau ringan, mengajar di Universitas Widyagama Malang. http://widyagama.ac.id/iwan-nugroho/

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tersenyum, Solusi di Saat Haji

14 Oktober 2013   13:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:33 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="alignright" width="235" caption="koleksi pribadi"][/caption] Sebuah tulisan menyebutkan tersenyum itu lebih mudah dibanding wajah cemberut.  Otot yang dibutuhkan untuk gerakan senyum lebih sedikit ketimbang cemberut. Menurut beberapa ahli dibutuhkan 43 otot untuk cemberut sementara hanya 17 otot untuk tersenyum. Tulisan lainnya menyebutkan dibutuhkan 62 otot untuk cemberut dan hanya 26 otot untuk tersenyum.  Kajian akademik ini bisa jadi menjelaskan mengapa kebiasaan tersenyum menjadikan orang nampak lebih muda karena tidak banyak otot yang dipakai, dan berlaku sebaliknya. Tulisan lain menyatakan tersenyum sangat bermanfaat, antara lain menciptakan suasana hati bahagia, mengurangi stres, meningkatkan sistem kekebalan tubuh, menurunkan dan menstabilkan tekanan darah, menyembuhkan penyakit, mempertahankan keremajaan kulit, dan menumbuhkan kepercayaan diri. [caption id="attachment_272059" align="alignleft" width="300" caption="koleksi pribadi"]

138173182379229720
138173182379229720
[/caption] Sebagaimana diketahui, aktivitas peribadatan haji, ziarah dan lain-lain di tanah suci, sejak keberangkatan hingga menjelang kepulangan membutuhkan konsentrasi tinggi.  Jamaah haji (JH) harus serius menyiapkan bekal, dokumen, dan mental untuk melewati setiap tahapan atau aktivitas.  Beratnya beban pikiran itu mengakibatkan JH sering menunjukkan “lupa” misalnya meletakkan tas paspor, menaruh kunci, atau memakai songkok; “letih” misalnya akibat berjalan kaki; “takut” misalnya melihat padatnya JH, kehabisan jatah konsumsi; “stress” misalnya memikirkan banyak hal; dan “sakit” akibat menurunnya stamina. Penulis merasa prihatin, ada JH yang senantiasa berwajah murung, seolah-olah semua urusan dunia sedang ia pikirkan.  Ada juga JH yang terdiam, melamun, dan berakhir cemberut; seolah-olah sedang menonton sinetron  yang “bad ending” yang disutradai sendiri.  Ada juga JH yang mengeluh tentang makan,  semua makanan “diprotes, dikeluhkan dan dimarahi,”.  Ada JH tidak pernah berhenti protes, bersungut-sungut atau senantiasa mengeluh terhadap orang-orang sekelilingnya.  Sama sekali tidak ada sedikitpun senyum di wajah mereka.  Akhirnya, diantara mereka itu mengeluh sakit kepala, tekanan darahnya naik,  atau tidak bisa istirahat.  Keberangkatan haji yang membutuhkan pengorbanan waktu, biaya, tenaga, dan meninggalkan keluarga berakhir dengan pengorbanan pula, JH merasakan penderitaan, keluarga juga merasa cemas.   Hal tersebut diatas harusnya tidak terjadi.   Pengalaman sedih dan buruk berhaji harusnya dapat dihindari, dapat dikurangi; dan dapat dipulihkan atau disembuhkan.  Cukup murah, tanpa modal, hanya dengan membiasakan tersenyum penulis yakin banyak hal terselesaikan tanpa masalah. [caption id="attachment_1976" align="alignright" width="237" caption="koleksi pribadi"]
antri zam zam
antri zam zam
[/caption] Sebaliknya, penulis sangat senang dengan pemandangan yang gembira dan bergairah, penuh dengan senyuman.  JH menjalankan seluruh peribadatan wajib maupun sunah dengan semangat, mereka ini saling tersenyum, menyapa dan bertukar hadiah, mampu menikmati keindahan dan gemerlapnya masjid, atau sangat menikmati jalanan kota Mekah sekalipun macet.  Mereka inilah dengan wajah ceria dan sumringah yang dapat bercerita banyak perihal kota Mekah dan Madinah, kemegahan masjid Haram dan Nabawi, antri air zam zam, merdunya suara azan dan sound system, lucunya petugas kebersihan, toko/mal/restoran yang menghibur, atau mengamati perilaku JH dari Asia Selatan yang suka tidur di udara terbuka. JH yang bersuka cita ini menikmati beragam fenomena tanah suci dengan segala perniknya, bahkan memanfaatkan kamera untuk merekam  atau mengkoleksi foto-foto tentang keindahan masjid dan kehidupan lainnya. Mereka benar-benar menikmati sisa waktu haji (atau di sela ibadah wajib) dengan beraktivitas santai, riang, dan bersemangat layaknya beribadah di tanah air.  Mengapa tidak?  Mereka ini berpandangan bahwa Mekah dan Madinah juga adalah kota modern, kota jasa, dan kota yang punya daya tarik wisata sebagaimana kota-kota besar di dunia.  Ini juga bagian dari menikmati kebesaran Allah.  Tidak ada salahnya menjelajahi kota selain untuk ziarah (napak tilas) perjuangan Rasululloh, juga memahami budaya dan lingkungan Arab. [caption id="attachment_1978" align="alignleft" width="239" caption="koleksi pribadi"]
[/caption] Di tanah suci, senyuman menjadi bahasa universal di antara para JH yang berasal dari beragam budaya, suku bangsa dan bahasa dari seluruh dunia.  Mereka itu saling tersenyum untuk berkomunikasi. Bagaimana tidak, di  banyak kesempatan di Mekah dan Madinah, senyum menjadi tanda banyak maksud.   Senyum dapat menjadi tanda berkenalan, menyapa, meminta, berkehendak atau bersepakat.  Modal senyum ini pula yang membantu penulis menjalankan ibadah haji, serta refreshing di sekitar masjid di Mekah atau Madinah, dan aktivitas lainnya. Penulis beberapa kali berkomunikasi dengan JH dari Turki, Afrika, atau Pakistan hanya melalui senyuman.  Yahh.., penulis tidak mengerti bahasa mereka.. dan juga sebaliknya, maka tersenyum saja. Senyum tanda persahabatan atau persaudaraan.  Setelah itu penulis mengatakan tegas “Indonesia”, sambil menunjuk tas paspor yang bertanda bendera merah putih.  Segera pula mereka menjawab “Turkiye”.  Lumayan menggelikan ..he..he.   Sementara komunikasi dengan JH India atau Bangladesh khususnya yang berusia muda dapat berkembang karena mereka umumnya mengerti berbahasa Inggris. Di saat yang lain, ketika itu penulis dan istri sedang thawaf dalam kondisi berdesakan.  Penulis kebetulan berjalan berdampingan dengan sepasang suami istri dari Turki.  Tiba-tiba saja ada JH wanita berkulit hitam (mungkin dari Afrika) mendorong pasangan Turki tersebut hingga sedikit terpental.  Mereka sempat bersitegang. Wajar bila JH Turki marah.  Penulis memberikan senyuman dan anggukan kepada si Turki.  Senyum yang bermakna solidaritas dan ajakan untuk sabar.  Alhamdulillah si Turki menyambut dengan hangat..selesailah drama itu. [caption id="attachment_1982" align="alignright" width="236" caption="koleksi pribadi"]
[/caption] Barangkali ini sangat lucu dan menggelikan.  Sedikitnya sehari sekali petugas membersihkan lantai suatu area masjid Haram.  Jumlah petugas korps baju hijau itu sekitar 10 hingga 15 orang.  Mereka mengawali dengan teriakan keras meminta JH untuk pindah tempat.  Teriakan itu demikian keras dan mengagetkan disertai siraman larutan pengharum.  Kami sempat terkejut dan “takut”, namun segera sirna karena mereka memberikan senyuman, meski ada juga petugas yang masih berwajah tanpa ekspresi.  Petugas itu memberi senyuman “memohon” JH pindah tempat.  Saat “ngepel” lantai tersebut, mereka main seluncur dengan menggosok lantai marmer yang licin sambil senyum dan bercanda.  Potret ini memaksa orang-orang di sekitarnya ikut tersenyum dan sangat-sangat menghibur. [caption id="attachment_272058" align="alignleft" width="300" caption="koleksi pribadi"]
1381731254144525505
1381731254144525505
[/caption] Sebelum berangkat haji, seorang kawan bercerita bahwa di Mekah atau Madinah biasa terjadi orang berjalan melangkahi orang sholat.  Benar juga, khususnya di Multazam, saat penulis sholat sunat sesudah thawaf, berkali-kali kaki panjang wanita atau pria lewat di atas kepala.  Di lokasi ini memang senantiasa padat dengan orang sholat.  Orang melangkah karena tidak ada pilihan jalan lain, sementara arus JH dari thawaf terus mengalir dari belakang untuk mencari tempat kosong.   Akhirnya, penulis juga “terpaksa melangkah”, melakukan hal sama .. dengan “tersenyum” untuk mengurangi rasa bersalah sekaligus bermakna “mohon maaf”. JH Indonesia dikenal suka berbelanja dan “ngotot” menawar harga.  Itu sebabnya sering muncul ungkapan “Indonesia Bakhil” yang diucapkan oleh pedagang-pedagang.  Penulis juga mengalami hal yang sama ketika membeli suatu barang.  Penulis minta 12 real dari harga 15 real yang ditawarkan.  Si penjual pun menyampaikan ungkapan tersebut.  Penulis tidak habis akal, langsung menjawab sambil senyum: “Ya benar Indonesia bakhil”.  Orang-orang di sekitar toko semuanya menjadi tersenyum dan tertawa, termasuk si penjual.  Alhasil, “.. 12 real halal”, katanya sambil menepuk pundak penulis… Senyuman juga menyelamatkan kamera saat berada di masjid Nabawi, Madinah.  Ketika itu, penulis berada di dekat Raudhah.  Penulis memberanikan diri mengambil foto area sekitar.  Hal tersebut kemudian diketahui oleh polisi (askar).  Kamera diminta polisi, dan sudah dalam genggamannya.  Ia menunjukkan kemarahannya dalam bahasa Arab.  Penulis memperlihatkan wajah kuatir akan kamera itu.  Setelah Polisi itu menurunkan amarahnya, penulis tersenyum pertanda mengakui kesalahan .. Alhamdulillah kamera dikembalikan. [caption id="attachment_1981" align="alignleft" width="200" caption="koleksi pribadi"]
[/caption] Pengamatan penulis, orang Arab di Mekah jarang sekali atau tidak mudah tersenyum.  Penulis beberapa kali sholat berjamaah di masjid sekitar maktab.  Tiap kali kesana, penulis memberi senyum kepada JH lainnya khususnya kepada imam atau takmir yang biasa duduk di belakang imam.  Tidak ada sambutan yang hangat.  Ketika menjelang meninggalkan Mekah, penulis sengaja mendatangi mereka ingin pamit, .. tentu dengan senyuman…  sekaligus mengajak berfoto untuk kenang-kenangan dengan imam dan para takmir itu.  Luar biasa .. mereka menyambut dengan hangat.  Bahkan beberapa remaja lainnya meminta difoto.  Suasananya benar-benar cair. Banyak sekali momen-momen yang penulis rasakan dengan tersenyum.  Ada kebahagiaan, terlebih ketika orang lain juga menyambut dengan hangat.  Senyuman bukanlah untuk kepentingan diri sendiri.  Senyuman  akan lahir bila dimotivasi untuk membantu membahagiakan JH yang lain sebagaimana banyak disampaikan dalam akhlak haji. Senyum adalah bentuk keikhlasan untuk orang lain, memperhatikan orang lain. Dengan berlatih, membiasakan diri, dan tentu saja ikhlas diperkuat dengan niat beribadah haji, Insya Allah, senyum akan mengembang sekalipun hati sedang gundah, pikiran sedang berkecamuk, atau stamina sedang menurun.  Senyum akan merubah hal-hal negatif menjadi energi positif, menyehatkan dan membahagiakan. Tersenyumlah.. agar kita semua berbahagia dimanapun berada, terlebih di tanah suci.  Allah akan membalas dengan berkah dan kebahagiaan. Tulisan ini merupakan catatan pengalaman haji tahun 2011 (1432H)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun