Debat Capres AS Terakhir (10/9/2024) Mematikan Ego Trump.Â
Debat calon presiden AS yang berlangsung antara Donald Trump dan Kamala Harris menggarisbawahi perbedaan mendasar antara dua visi Amerika yang sangat bertolak belakang: satu yang berusaha mempertahankan prinsip-prinsip demokrasi, sementara yang lain menggunakan retorika demokrasi untuk merasionalisasi tindakan anti-demokrasi. Kamala Harris menegaskan perannya sebagai pelindung demokrasi dengan serangan tajam terhadap hal-hal yang paling disukai Trump: rapat umum dan pengikut setianya.
Harris, dengan penuh persiapan, menuding Trump hanya berbicara soal hal-hal absurd, seperti "karakter fiktif Hannibal Lecter" dan "kincir angin penyebab kanker," namun mengabaikan rakyat Amerika yang seharusnya menjadi fokus utama. Di saat yang sama, Harris memperlihatkan kelemahan utama Trump: dia mulai kehilangan kendali ketika diserang di bidang yang dianggap sebagai kekuatan. Respon Trump menjadi kacau, dari pembelaan terhadap Rally rapat kampanye umumnya yang hanya berpidato tentang kincir angin dan semua kesedihannya karena tersangkut perkara hukum  di pengadilan, semua itu membosankan peserta kampanye dan ditinggalkan mereka. Ini mengusik obsesi Trump tentang besarnya ukuran peserta kampanye, yang kenyataannya terbatas. Hingga agenda kampanye yang membosankan lainnya seperti membicarakan teori konspirasi aneh tentang migran Haiti yang memakan hewan peliharaan di Springfield, Ohio. Apalagi moderator debat Capres David Muir melakukan fact check dan menyanggah teori konspirasi aneh dan sangat tidak masuk akal. Ini memperlihatkan bagaimana Trump, dalam usahanya mempertahankan pengikutnya, terjerumus dalam retorika tidak rasional yang menyerang kenyataan.
Dalam debat ini, Harris mampu memancing Trump untuk menunjukkan sisi terburuknya, memaksa dia berbicara tentang dukungan dari pemimpin otoriter seperti Viktor Orbn, yang menegaskan peran Trump dalam memecah-belah dunia. Ini memperkuat gambaran Trump sebagai sosok yang lebih condong pada gaya kepemimpinan diktator daripada prinsip-prinsip demokrasi.
Serangan Harris paling kuat terlihat saat membahas isu aborsi, di mana dia mengecam keras Trump atas pembatalan Roe v. Wade dan ketidakmampuan hukum yang melindungi perempuan dari pelecehan dan kekerasan seksual. Harris memperjelas bahwa negara, apalagi Trump, tidak berhak memutuskan apa yang boleh atau tidak dilakukan seorang perempuan dengan tubuhnya. Trump, di sisi lain, terus memperdebatkan posisi ambigu dan klaim ekstrem, seperti menuduh Harris dan pasangannya, Tim Walz, mendukung "eksekusi setelah kelahiran," yang langsung dibantah oleh moderator debat.
Di akhir debat, Harris menutup dengan visi tentang masa depan Amerika yang lebih baik dan inklusif, sementara Trump, dengan nada penuh kemarahan, terus berbicara tentang Amerika yang gagal, sebuah bangsa yang "ditertawakan oleh dunia." Perdebatan ini memperjelas kontras antara Harris sebagai pendukung demokrasi yang kuat, melawan Trump yang mempergunakan demokrasi untuk menjustifikasi gaya kepemimpinannya yang merusak pilar-pilar fundamental sistem tersebut. Â
Debat capres antara Donald Trump dan Kamala Harris menjadi arena yang memperlihatkan betapa jauhnya perbedaan ideologis dan rasionalitas di antara keduanya. Harris mewakili demokrasi dan kesetaraan, sementara Trump, dengan retorika anti-demokrasi dan teori konspirasinya, kian jauh dari kenyataan.Â
Saat moderator menanyakan apakah ekonomi AS kini lebih baik, Trump gagal memberikan jawaban yang meyakinkan. Klaimnya bahwa ia pernah menghadirkan "ekonomi terbaik" dalam sejarah AS dipertanyakan oleh Harris, yang menyoroti bahwa kebijakan Trump, seperti tarif yang membebani konsumen lewat pajak penjualan, justru merugikan rakyat biasa. Ketidakmampuannya mengaitkan kebijakan ekonominya dengan realitas masyarakat menjadi titik lemah.Â
Trump juga terjebak dalam konsumsi harian teori konspirasi yang telah membentuk pandangannya yang semakin aneh dan jauh dari kenyataan. Ini membuatnya tak mampu berdebat secara rasional. Salah satu momen yang paling mencolok adalah ketika Trump membahas konspirasi tentang imigran yang "memakan anjing" di Springfield, Ohio. Teori ini, yang dibantah langsung oleh moderator, hanya memperkuat bahwa Trump telah terjebak dalam dunia fantasi, sehingga membuang kesempatan pentingnya untuk menarik pemilih yang rasional.Â
Ketika Harris menekan Trump soal hak aborsi dan undang-undang yang melarang pengecualian bahkan untuk kasus pemerkosaan dan inses, Trump tampak takut untuk memberikan jawaban jelas. Dia menghindar dari menjawab apakah dia mendukung larangan aborsi nasional, bahkan saat Harris menekankan dampak moral dari undang-undang yang melanggar hak perempuan. Fakta bahwa Trump tak mampu merespons isu ini dengan jelas, serta malah membuka kasus korupsi imajiner Biden yang merefleksikan atau memproyeksikan kasus korupsi dengan keluarganya yang gagal dimanfaatkan Harris dengan pengungkapan korupsi dalam pemerintahannya---seperti kesepakatan Jared Kushner yang menerima $2 miliar---menjadi bukti ketidakmampuannya menghadapi realitas.Â
Selain itu, Harris memojokkan Trump dalam isu kudeta 6 Januari dan penolakannya untuk mengakui kekalahan dalam pemilu. Trump berusaha mengalihkan pembicaraan ke topik lain, tetapi Harris berhasil menunjukkan bahwa tindakan Trump yang memecah-belah bangsa dan memicu insurreksi lebih merusak daripada ancaman imigran yang terus dibesar-besarkannya. Harris juga menyerang Trump karena memuji diktator seperti Viktor Orbn dan pemimpin Korea Utara, yang jelas-jelas tidak pantas dikagumi karena catatan kekerasan mereka terhadap rakyat dan pelanggaran hak asasi manusia.Â
Isu hak-hak perempuan menjadi fokus utama yang menarik perhatian pemilih perempuan, yang oleh Harris disebut sebagai pilar moral demokrasi. Di sisi lain, Trump, yang terjebak dalam konsumsi teori konspirasi setiap hari, tampak tidak mengerti bahwa pemilih perempuan lebih tertarik pada perlindungan hak-hak mereka dibandingkan retorika yang tidak rasional.Â
Dalam momen lain yang tak terlupakan, moderator memeriksa fakta lebih dari tiga kali terkait aborsi, teori konspirasi tentang makan anjing, dan pemilu curang, yang semuanya mempermalukan Trump. Ini jelas menunjukkan betapa teori konspirasi yang digembar-gemborkan Trump tak mampu bertahan dari pemeriksaan fakta sederhana.Â
Harris dengan tegas menyebut Trump sebagai peninggalan sejarah buruk Amerika, sebuah relik dari masa lalu yang ketinggalan zaman. Serangan Trump terhadap kelompok marginal, termasuk insiden "Central Park 5," menunjukkan bagaimana rasisme mendasar Trump terungkap secara terang-terangan.Â
Di akhir debat, Harris dengan percaya diri mengajak pemilih untuk membayangkan hadir dalam kampanye aneh dan pergi karena tidak tahan mendengar ocehan tidak rasional, inilah saatnya menimbang masa depan yang lebih baik, sedangkan Trump terjebak dalam nostalgia akan "kejayaan khayalan" masa lalunya yang berhasil merusak sosial ekonomi AS.
Diluar perdebatan ternyata ada partisipasi dari Taylor Swift yang mengatakan bahwa dia telah mendukung Kamala Harris karena kekhawatiran akan kekacauan demokrasi di bawah Trump dan juga menunjukkan foto cantiknya bersama kucing kesayangannya dalam usaha mengolok olok Cawapres JD Vance yang mengkampanyekan isu identitas Kekristenan yang keliru atau dipelesetkan bahwa wanita harus selalu berada dirumah membuat anak dan jangan menjadi "Childless Cat Lady", balum jutaan pecinta kucing menjadi musuh barunya Trump.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H