Mohon tunggu...
Muhammad Ridwan Alimuddin
Muhammad Ridwan Alimuddin Mohon Tunggu... -

Kuliah di UGM 1997-2006, menulis buku "Mengapa Kita (Belum) Cinta Laut?" (Ombak 2004), "Orang Mandar Orang Laut" (KPG 2005), "Sandeq, Perahu Tercepat Nusantara" (Ombak 2009), "Mandar Nol Kilometer" (Koran Mandar, 2011)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Save Our Kalumpang" 02: Tabir Sejarah Pertanian Awal Pulau Sulawesi

10 Januari 2012   23:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:04 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada 1926, Zending Belanda mulai mendirikan Sekolah Rakyat (SR) di Tamalea untuk kelas satu hingga tiga. Setahun berikutnya, 1927 didirikan lagi SR di Malolo, namun bukan di Kota Kalumpang. Tahun 1930 di Pulo Karama, lalu di Pa’bentengan berupa sekolah lanjutan untuk kelas empat hingga enam dengan sebutan Veer Volog School (VVS).

Setelah perang dunia kedua, Universitas Sorbonne, Paris, melibatkan diri dalam penelitian situs Sampaga (kawasan dekat muara Sungai Karama). Perhatian mereka terpusat pada relief pola desain tembikar yang ditemukan di Minanga Sipakko. Penelusuran situs sampai ke hulu Sungai Karama (yang biasa juga disebut Sungai Sampaga dalam beberapa tulisan) membawa mereka pada masyarakat Kalumpang.

Kalumpang adalah situs yang oleh para arkeolog dianggap bisa membuka tabir sejarah pertanian awal orang-orang di Pulau Sulawesi. Menurut Asfriyanto, seorang arkeolog muda, “Menariknya, daerah Kalumpang juga memiliki mitos suci tentang padi yang berbeda dengan mitos padi seperti yang termaktub dalam naskah La Galigo, naskah yang selama ini dipandang para ahli sebagai ingatan sejarah orang-orang Bugis yang paling purba.”

Tambahnya, “Jika mitos orang Bugis mengatakan tanaman padi berasal dari badan Sangiang Seri, salah satu anak dari Patotoqe sang penguasa di Botting Langi’, maka mitos padi orang Kalumpang justru berasal dari tumbuhan Dewa, yang muasal benihnya dari tanah dewa di seberang lautan yang kemudian dibawa oleh nenek moyang dengan perahu ke Kalumpang dan ditanam di atas batu di puncak gunung. Mitos tentang padi ditemukan dalam nyanyian “ma’ole” atau nyanyian panjang orang Kalumpang yang menggunakan bahasa Kalumpang purba yang saat ini penuturnya tinggal dua orang tua berusia lanjut.

Konon, benih padi itu masih ada di puncak gunung yang terletak tidak jauh dari kampung Kalumpang. Setiap tahun padi itu tetap tumbuh. Sampai tahun 1960-an orang-orang Kalumpang masih mengandalkan benih padi yang berasal dari puncak gunung itu.

Padi yang tumbuh di puncak bukit batangnya lebih besar dari batang padi yang ada sekarang, bulir padinya lebih kecil, namun sangat rimbun. Selain dimanfaaatkan sebagi bibit, tumbuhnya batang padi di puncak bukit itu dijadikan penanda bagi orang Kalumpang untuk memulai menanam padi. Sayang, usia panennya mencapai enam bulan. Karena itu, dengan masuknya program intensifikasi pertanian oleh pemerintah diawal tahun 1970-an, bibit padi lokal tersebut diganti dengan bibit yang lebih bagus dengan masa panen tiga bulan sekali.

Sejak proses pergantian varietas padi itulah orang-orang Kalumpang mulai mengenal hama padi dan insektisida. Asfriyanto mengutip pendapat pendeta Mardi Tamandalan, “Masih ada penduduk yang menanam bibit padi gunung seperti itu, tapi letaknya di hulu sungai Karama. Padi gunung itu rasanya enak sekali. Saya dulu sering makan waktu masih kecil, tapi sekarang sudah susah dicari.”

Patung Sikendeng

Sungai Karama menyimpan banyak misteri dan pernah menjadi saksi sejarah peradaban Nusantara. Di Sikendeng, sekitar 10 km dari muara Sungai Karama, pernah ditemukan patung Buddha berbahan perunggu, yang kemudian diberi nama Patung Sikendeng, sebab ditemukan di Sikendeng.

Situs bersejarah ini ditemukan oleh A. Maula, seorang penilik sekolah daerah setempat. Dan atas perintah Caron, gubernur waktu itu, patung dibawa ke Makassar. Untuk kemudian Dr. F.D.K. Bosch membandingkannya dengan patung-patung Buddha yang ada di Borobudur dan Palembang yang termasuk tradisi Hindu Jawa dan Hindu Sumatera.

Dari hasil penelitian di simpulkan, gaya patung Sikendeng mempunyai ciri yang khas sebagaimana mantel biarawan Sanghati yang berlipat-lipat dilukiskan. lipatan-lipatan terjadi karena kain penutup bahu kiri ditarik keras, menyebabkan jalur-jalur dangkal pada kain tersebut. Di samping itu badan yang ramping seperti wanita, raut muka bulat, leher berisi, mulut kecil bibir tebal.

Dibandingkan dengan gaya dan bentuk patung perunggu Buddha lainnya seperti dari Solok jambi, Kotabangun Kalimantan Barat dan patung dari Gunung Lawu Jawa Hindu kelihatannya tidak mempunyai kesamaan. Kelihatannya patung itu dipengaruhi oleh gaya Buddha Greeco yang terdapat di India Selatan.

Di Amarawaty India Selatan pernah ada tradisi pembuatan patung yang mirip dengan gaya patung yang ditemukan di Sikendeng, terutama cara pemakaian dengan jalur-jalur yang dangkal dan cara menutup bahu dengan kain yang berlipat-lipat.

Dr. Bosch akhirnya berkesimpulan bahwa patung Sikendeng dibawa langsung dari India Selatan dan mungkin dari Amarawaty. Masa penyebarannya mungkin terjadi antara abad ke-2 - 7 M. Penemuan tersebut mengisyaratkan, pernah terdapat kerajaan atau perkampungan tua, dan bahkan ada yang berpendapat bahwa kerajaan atau perkampungan di wilayah penemuan benda-benda atau alat-alat dari batu dan gerabah adalah kerajaan atau perkampungan tertua di Mandar atau Sulawesi Barat.

Bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun