Mohon tunggu...
Iwan Kodrat
Iwan Kodrat Mohon Tunggu... wiraswasta -

Jangan berdiri dibelakangku, aku tak mau diikuti Jangan Berdiri didepanku, aku tak mau mengikuti Berdirilah disampingku, kita melangkah bersama.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Orang Jakarta Lebih Tahu Pantas Tidak Jokowi Nyapres

22 Juni 2014   07:25 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:51 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

DKI Jakarta yang merupakan ibukota negara Republik Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 9.607.787 jiwa, walau tidak diuraikan secara detail kita semua tahu, Jakarta pastilah memiliki permasalahan yang kompleks, mulai darikemacetan, kepadatan penduduk, banjir, tindak kriminal, dan berbagai permasalahan lainnya yang saat ini belum ditemukan solusi yang tepat untuk mengatasinya.

Wajar saja DKI Jakarta dengan berbagai persoalannya masih menjadi kota besar yang menjanjikan bagi masyarakat dari seluruh daerah yang ada di negara ini untuk menggantungkan harapan dan cita-cita kesuksesan. Sebab sebagai ibukota negara, Jakarta menjadi pusat kota perekonomian dengan segala fasilitas lengkap yang menjadi segala kebutuhan warganya. Jadi wajar saja, jika segala persoalan sosial, ekonomi, budaya dan segala tetek bengek persoalan bangsa ada di sana.

Entah sudah berapa kali DKI Jakarta berganti kepala daerah, hingga terakhir kalinya dipimpin mantan Walikota Solo Joko Widodo yang kini kembali menuruti ambisi kekuasaannya dengan mencalonkan diri sebagai Presiden RI berpasangan dengan Jusuf Kalla, persoalan DKI Jakarta juga belum terselesaikan.

Masuk di logika kita semua, jika banyak pengamat politik yang menyatakan DKI Jakarta adalah salah satu indikator untuk mengukur kemampuan seseorang dalam memimpin.Dapat diartikan seseorang yang mampu menyelesaikan segala persoalan di DKI Jakarta layak memimpin di tingkat yang lebih tinggi yakni memimpin bangsa ini sebagai Presiden.Pendapat ini wajar, sebab segala penduduk dari segala penjuru Indonesia banyak yang menetap, bahkan sudah menjadi warga tetap ibukota. Mulai dari kalangan orang pinggiran dengan segala persoalan kemiskinannya sampai kalangan masyarakat kelas tinggi dari penjuru daerah menetap dan menggantungkan hidup di kota Jakarta. Sebagai kota Megapolitan, tentunya Jakarta memiliki persoalan sosial, transportasi dan kemacetannya, hingga persoalan kriminal dari masyarakatnya menjadi tolak ukur, sejauh mana persoalan-persoalan itu mampu diselesaikan kepala daerah selaku pemimpinnya. Jadi wajar saja, jika pernyataan di atas dilontarkan para pengamat tentang kriteria calon presiden RI.

Mungkin dari hal itu Joko Widodo sebelum berencana mencalonkan diri sebagai presiden ia berusaha keras untuk memenangkan pemilihan gubernur DKI Jakarta 2012 lalu melawan incumbent Fauzi Bowo.

Tapi pertanyaannya benarkah Jokowi sudah mampu menyelesaikan tugasnya meyelesaikan persoalan-persoalan DKI Jakarta, kemudian ingin kekuasaan yang lebih tinggi?

Tentunya jawaban dari pertanyaan ini hanya warga DKI Jakarta yang ditinggalkan Jokowi lah yang lebih tahu jawabannya. Benarkan Jokowi sudah mampu mengatasi kemacetan, banjir, transportasi, kemiskinan, pengangguran, sosial, budaya, kesehatan, pendidikan dan lain-lainnya.

Warga Jakarta itulah yang tahu layak tidak Jokowi menjadi Presiden RI. Nah warga Jakarta dari berbagai penjuru tanah air itu dapat menceritakan berhasil atau gagal Jokowi memimpi DKI Jakarta kepada sanak keluarga dan warga dari tempat asal mereka.Hal ini sangat berguna sebagai referensi terpercaya sebelum masyarakat Indonesia memilih Jokowi sebagai Presiden RI pada 9 Juli 2014 nanti.

Kenapa ini perlu bahkan harus dilakukan? Sebab segala pemberitaan pencitraan Jokowi saat menjadi Gubernur DKI Jakarta oleh media massa baik cetak maupun elektronik tidak dapat dipercaya seratus persen. Konsep berita seperti itu adalah konsep berita berbayar yang melalui kontrak iklan dengan nilai sangat besar dan bervariasi.Artinya perusahaan media massa yang terlibat dalam pemberitaan pencitraan Jokowi wajib hanya memberitakan sisi positifnya saja dari sosok Jokowi secara pribadi maupun sebagai gubernur DKI Jakarta. Pastinya juga berita itu sifatnya subjektif dan bukan objektif dari kegagalan dan keberhasilan Jokowi memimpin DKI.

Kepala Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris di liputan6.com beberapa waktu lalu juga sama berpendapat, sebelum benar-benar mendukung Jokowi sebagai capres, sebaiknya kita menunggu terlebih dahulu apakah Jokowi berhasil memimpin Jakarta atau tidak. Pernyataan Syamsudin itu menanggapi banyaknya komentar dari berbagai kalangan jika Jokowi kerap disebut-sebut sebagai calon presiden paling potensial untuk menduduki kursi RI1. Apakah Jokowi memang layak jadi capres pada Pemilu 2014? “Kalau menurut saya, sebaiknya kita tunggu dulu saja. Kita lihat dulu dia (Jokowi) berhasil enggak memimpin Jakarta,” ujar Syamsuddin

Sementara itu juga Rajabasanews.com juga melangsir berita berdasarkan Hasil Pemeriksaan (LHP) Laporan Keuangan (LK) Pemprov DKI oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI), ada 86 temuan yang diduga menyebabkan total kerugian negara mencapai Rp 1,54 triliun. “Dari temuan itu, kerugian daerah diindikasikan senilai Rp 85,36 miliar, temuan potensi kerugian daerah senilai Rp 1,33 triliun, kekurangan penerimaan daerah Rp 95,01 miliar dan temuan 3E atau pemborosan sebesar Rp 23,13 miliar,” kata Anggota V BPK RI, Agung Firman Sampurna, kepada pers, Jumat (20/6/2014).

BPK RI menggunakan metode Risk Based Audit (RBA) yang komprehensif dilandasi asas integritas, indepensi dan profesionalisme yang tinggi, lajut Agung. “LK DKI tahun 2013 lalu menurun dari Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) menjadi Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Padahal dua tahun terakhir DKI menduduki posisi WTP-Dengan Paragraf Penjelas. Artinya, di era kepemimpinan Gubernur DKI Joko Widodo prestasi di bidang pengelolaan keuangan menurun,” jelasnya.

Agung Firman Sampurna juga menyatakan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menilai pengadaan bus Transjakarta dan bus ukuran sedang pada tahun anggaran 2013 oleh Dinas Perhubungan (Dishub) DKI tidak dapat diyakini kewajaran harganya.

“Ini ngak bener, harga Transjakarta Rp 118,40 miliar dan bus ukuran sedang Rp 43,87 miliar itu tidak wajar,” ujarnya.

BPK RI juga sedang menyelidiki transaksi keuangan di Dinas Pekerjaan Umum (PU) DKI sebesar Rp 110,04 miliar pada tahun 2013.  Berdasarkan temuan BPK RI,  dana sebesar Rp 104,62 miliar ditransfer ke rekening kepala seksi di kecamatan, kepala seksi duku dinas dan kepala bidang pemeliharaan jalan. Dan dana sebesar Rp 2,24 miliar tidak disertai bukti pertanggungjawaban.

“Hasil pengujian di  pembangunan jalan di DKI Jakarta tidak sesuai dengan spesifikasi menyebabkan kerugian negara senilai Rp 4,49 miliar,” katanya lagi.

Di tempat terpisah, Pelaksana Tugas Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama tampak geram dengan temuan tersebut. Basuki siap memecat satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang kedapatan melakukan kecurangan sebagaimana yang ditemukan oleh BPK RI.

Ayo warga Jakarta ceritakan kepada sanak saudaramu dan warga tempat asal mu di daerah tentang gagal atau berhasil kepemimpinan Jokowi sebagai gubernur DKI Jakarta, ini penting untuk menilai layak atau tidak Jokowi sebagai Presiden RI. Salam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun