Lewat rapat paripurna akhirnya DPR RI berhasil menunda kenaikan harga BBM dengan mengubah UU no 22 tahun 2011 pasal 7 ayat 6. Dengan perubahan itu dinyatakan bahwa pemerintah bisa menaikkan harga BBM jika harga rata-rata minyak Indonesia (Indonesia Crude Oil Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan rata-rata sebesar 15 persen dalam 6 bulan terakhir dari harga minyak internasional yang diasumsikan dalam APBN-P Tahun Anggaran 2012. Tapi benarkah ini adalah solusi yang berada di atas jalan yang ‘benar’? Pahamkah rakyat dengan situasi ini? Solusi Menyesatkan Bagi masyarakat awam penundaan kenaikan harga BBM ini pastinya disambut senang, meski berbagai harga kebutuhan pokok telah kepalang melonjak. Pokoknya harga BBM tidak naik. Padahal sebenarnya rakyat telah dibohongi melalui pasal 7 ayat 6a. Karena dengan pasal tersebut pemerintah tetap diberikan hak untuk menaikkan harga BBM seandainya harga rata-rata ICP mengalami kenaikkan rata-rata sebesar 15 persen dalam 6 terakhir. Belum lagi pengertian 6 bulan yang disebut dalam pasal tadi juga bisa diartikan ‘kapan saja’ oleh pemerintah. Seperti pernyataan Wamen ESDM Widjajono Partowidagdo yang bahkan spontan menyatakan kalau Mei harga ICP jeblok maka harga BBM bisa langsung naik. Nah, lho. Rakyat kebanyakan juga tidak paham bahwa pangkal persoalan BBM bukanlah naik atau turunnya harga maupun subsidi BBM. Pikiran rakyat sengaja dikaburkan oleh pemerintah dalam persoalan ini. Karena pangkal persoalan BBM senantiasa gonjang-ganjing adalah kebijakan liberalisasi migas yang dibuat oleh pemerintah. Khusus migas, melalui UU no 22 tahun 2001, pemerintah memberikan pintu gerbang liberalisasi pengelolaan migas bagi asing. Bahkan dengan undang-undang tersebut pemerintah memperlakukan ‘anak kandung’ mereka sendiri, Pertamina, sejajar dengan perusahaan-perusahaan migas asing. Pertamina harus bersaing dengan berbagai perusahaan migas tersebut. alasannya, untuk menimbulkan efek efesiensi karena dihilangkannya monopoli pengelolaan migas oleh Pertamina. Padahal seperti diakui sendiri oleh BP Migas, kilang-kilang minyak asing yang bekerja di tanah air amat rakus menyedot cadangan minyak bumi milik Indonesia. Sebagai contoh, Chevron yang iklannya wara-wiri di televisi, menjadi produsen migas terbesar di Indonesia dengan kapasitas 356 ribu barel perhari. Padahal mereka hanya punya wilayah kerja 8.700 km persegi. Sementara Pertamina yang punya wilayah kerja terluas, yaitu 138 km persegi baru menghasilkan 0,89 barel perhari. Pemerintah juga lalai dalam mengawasi lifting minyak bumi dari sumur-sumur yang dikelola asing. Menurut Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis Ahmad Daryoko, telah terjadi penggelapan data sumur minyak yang ada. Dan nilainya itu sekitar Rp 720 milyar per hari. Hal ini yang menyebabkan lifting minyak jatuh ke kisaran 800-900 ribu barel perhari padahal sebelumnya sekitar 1.6 juta barel perhari. Dan itu terjadi sejak berlakunya UU 22 tahun 2001. Lagi-lagi liberalisasi migas biang keroknya! Salah satu buktinya kasus penggelapan sumur minyak yang dikelola Petrokimia di Provinsi Jambi. Jumlah sumur minyak Petrokimia di Provinsi Jambi berdasarkan catatan BP Migas berjumlah 30 sumur. Kemudian Pemda Jambi melakukan investigasi sendiri ternyata ada 91 sumur. Berarti ada 61 satu sumur yang tidak tercatat. Akibat liberalisasi migas Pertamina tidak punya wewenang mengawasi kilang minyak asing. Sedangkan BP Migas yang dibentuk pemerintah hanya mencatat laporan kontraktor dan bukan mengawasi! Kembalikan Pada Rakyat Mengikuti logika UUD 45 pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 45: (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berarti pemerintah telah melakukan pengkhianatan terhadap konstitusi negeri ini dengan membuat kebijakan liberalisasi SDA, termasuk di sektor migas. Lebih jauh lagi, pemerintah telah melakukan kezaliman luar biasa terhadap rakyat. Pemerintah juga menipu rakyat dengan mempersalahkan subsidi sebagai ancaman atas jebolnya APBN. Mengapa ini terjadi? Jawabannya jelas karena pemerintah mengikuti arahan Konsensus Washington dan USAID untuk melakukan liberalisasi di sektor SDA termasuk listrik, di antaranya dengan mencabut subsidi. Sehingga pengusaha migas asing dapat bersaing dengan badan usaha milik negara dari hulu hingga ke hilir. Maka pasal 7 ayat 6a yang kemarin sebenarnya hanya kamuflase untuk tetap menaikkan harga BBM dan menyenangkan perusahaan-perusahaan asing migas. Sama sekali bukan solusi tuntas untuk menyelesaikan persoalan migas di dalam negeri. Benar-benar kebohongan terhadap publik yang lihai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H