Suatu hari guru saya, Arif Billah, mengajak saya naik Kopaja ke suatu tempat. Suasanya crowded waktu itu. Penumpang berdesakan dan kami hanya bisa berdiri di dalam Kopaja yang rasanya sudah saatnya masuk museum sejarah karena sudah butut.
Guru saya itu berbisik lirih, “Orang Indonesia nampaknya tidak pernah makmur sehingga tidak pernah protes hidup dalam kesengsaraan.” Saya hanya bisa tersenyum kecut.
Teori ‘asal-asalan’ itu ada benarnya. Dibikin kondisi susah seperti apapun oleh penguasanya ataupun oleh pihak asing, orang Indonesia rata-rata tidak pernah protes. Kalaupun ada yang protes maka jumlahnya tidak banyak. Itupun tidak berkepanjangan. Mayoritas terima dan cuek habis meski hati mereka galau segalau-galaunya. Itu juga barangkali penyebab Belanda bisa menjajah negeri ini selama 3,5 abad. Tiga ratus lima puluh tahun bukan waktu yang lama, man. Itu sudah sama dengan tujuh turunan bila satu turunannya berusia 50 tahun.
Saya melihat ada alasan sosial-teologis orang Indonesia menerima berbagai penderitaan yang disebabkan oleh penguasa mereka atau oleh penjajah terhadap diri mereka. Pertama adalah persoalan kultur sosial. Buat sebagian orang Indonesia susah-lapang, sedih-senang, kenyang-lapar, tidak jadi soal yang penting dirasakan bersama. Pepatah lama bilang; mangan ora mangan sing penting ngumpul.
Sisi lainnya dari kultur sosial orang Indonesia adalah nrimo alias pasrah total dengan kondisi yang ada. Biarpun harga BBM naik yang penting barangnya ada dan ada cukup uang untuk beli. Biarpun biaya sekolah mahal yang penting anak bisa sekolah. Walaupun biaya rumah sakit mahal yang penting bisa sembuh, meski harus utang sana-sini. Walaupun itu harus gali lubang tutup empang.
Sementara itu secara teologis, rakyat Indonesia yang muslim telah lama dipahamkan makna keliru tentang ‘sabar & syukur’. Ambillah contoh yang sering terjadi dalam kasus ketidakbecusan pelaksanaan ibadah haji di mana letak pondokan jauh dari Masjidil Haram sedangkan jemaah haji Indonesia dominan kaum lanjut usia. Apa komentar pejabat berwenang, “Sabar, kita sedang beribadah pasti ada ujian dari Allah, makin besar ujiannya makin besar pahalanya.” Galaunya pernyataan itu rata-rata diamini para jamaah.
Kekacauan persoalan teologis ini juga terjadi ketika pemerintah menaikkan harga BBM atau TDL, misalnya. Banyak orang Indonesia sambil mengurut dada akan bilang, “Nggak apa-apa naek juga, alhamdulillah barangnya masih ada dan alhamdulillah kita masih bisa beli.” Nah, lho!
Belum cukup itu, kini bermunculan juga para dai yang dengan keras mengingatkan kaum muslimin tentang hukum wajibnya taat kepada para pemimpin sekalipun mereka zalim. Alasannya, mereka masih menegakkan shalat dan mensyiarkan ajaran agama Islam. Pokoknya harus taat biarpun “pemimpin kalian adalah budak Habsyah yang rambutnya keriting bak kismis” seperti yang termaktub dalam hadits shahih Imam Muslim.
Maka memimpin rakyat Indonesia adalah pekerjaan yang menyenangkan, karena secara umum mereka akan nrimo apapun sabdo pandito ratu. Apalagi senantiasa ada ulama yang siap menjadi pelindung para penguasanya, sekalipun zalim dan menyesengsarakan rakyatnya sendiri. Na’uzubillahi min dzalik!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H