Mohon tunggu...
Iwan Husain
Iwan Husain Mohon Tunggu... Guru - guru

keilmuan dan bisnis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pengetahuan 30 Detik (Singkat) Lahirnya Filsuf Karbitan

8 Juni 2023   05:12 Diperbarui: 8 Juni 2023   05:12 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketgam: Pola Pikir terbentuk dari preferensi medsos

Pada aplikasi Whatsapp itu hanya 30  detik dst memberikan informasi, tik tok 5 menit, reels Instagram maksimal 90 detik, shorts YouTube 60 detik, praktik kontennisasi jadi hobi dan konsumsi kita. Filsuf karbitan ini lahir  adalah pengguna smartphone yang memahami secara praktis dan singkat setiap konten video yang berdurasi pendek lalu mengomentari kalimat bijak dengan konklusi baru. Seakan-akan mereka memahami baik konten makna dari ungkapan di video tersebut.Sebagian menikmati dengan khusyuk dominan pada durasi 30 detik,

Sulit di zaman ini menilai seseorang apakah bijak atau tidak, jika  paramaternya adalah melihat aktivitas  medsos di ig, wa, fb, twitter, tik-tok ,setiap harinya selalu memposting video bermanfaat ataupun rajin menshare setiap konten tersebut , lalu melegitimasi orang tersebut mempunyai moralitas yang baik. Bahkan ada beberapa teman-teman yang storynya di medsos jauh dari panggang api dengan perilaku dan perbuatan hari-harinya yang bejat. Story malaikat perbuatan iblis.

Seperti yang kita ketahui bersama algoritma di setiap smartphone  akan menysesuaikan sesuai dengan keinginan kamu, mendeteksi kesukaan kamu, dan karakter kamu maka penampilan di beranda kamu adalah sesuai yang kamu lakukan pada laman pencarian, follow, like, share. 

Sebagian orang yang sedang menggeluti ilmu untuk menambah wawasan pengetahuan, seringkali terlena dan kecanduan dalam menscroll konten-konten yang berhubugan dengan ilmu pengetahuan walaupun singkat. Padahal konten tersebut hanya bertujuan untuk memberikan kenyamanan.menciptakan dopamine yang menyebabkan berjam-jam mensroll. Bukan memperkaya khazanah intelektual kita. Jika memang niat kita untuk mengetahui dalamya dan luasnya ilmu, maka habiskan waktu untuk memperkuat literasi (membaca, menulis, berbicara, menganalisi). Terasa elit bersama smarthphone selama 3 jam, namun sulit bersama buku selama 3 jam.

 Belajar secara otodidak melalui konten di platform media sosial mengandung banyak pelajaran namun tak bisa di sebagai proses pembelajaran. Secara garis besar pembelajaran adalah terjadinya dialog dua arah (guru-murid) secara interaktif yang didalamnya terdapat edukasi. Walaupun konten video yang menjelaskan berupa pengetahuan, kata-kata bijak itu dibawakan secara menarik (disisipkan suara music biar nyaman) dengan statement padat dan berbobot tetaplah tidak memberikan efek rangsangan yang mengupgrade kecerdasan kita. Malah sebaliknya yang ada hanya memiliki cara berpikir skeptisme yaitu  mempercayai segala sesuatu tanpa alasan. 

Dogma-dogma pengetahuan di setiap konten singkat itu membentuk gaya berfikir ejakulasi, serta miskin daya critical thingking. Juga, candu konten tersebut bukanlah semangat mencari esensi ilmu melainkan agar merasakan sensasi. Kita terhipnotis bahwa platform media sosial telah merangkum komposisi ilmu pengetahuan yang ada. Seolah referensi google menjadi kebenaran absolute, dan terlegitimasi kebenaranya. Namun kita tidak pernah mengira bahwa yang menulis tulisan kebenaran di google adalah mereka yang bukan akadamisi tulen hanya yang menulis di internet semata untuk mencari keuntungan atau uang. Banyak kekeliruan didalamnya. 

Kita selalu berdebat jika mengalami frustasi pikiran maka google menjadi pembantu, bahkan sering  seringkali mendenfar "tanya saja google". Penulis  sepakat jika mengakses referensi google untuk bahan bacaam dan diskusi itu buku jurnal atau blog, website  yang menuliskan referensinya dengan jelas.

 Sehinga sekali lagi untuk tidak menjadi seorang filsuf karbitan hindari dan kurangi  platform medsos sebagai kiblat dari sumber keilmuan , maka belajarlah dengan secara sistematis dan rerefensi yang jelas serta bimbigann secara offline. sebab jika bimbingan online bukan proses pembelajaran, sebab pembelajaran itu interaksi dua arah yang bukan hanya transfer ilmu namun jauh dari lebih dari itu: mentransfer adab dan nilai. Tidak heran karakter peserta didik kurang ajar, miskin akhlak, sebab dengan masifnya kita belajar secara online di media sosial dalam proses interaksi tersebut kita kurang mendapatkan nilai nilai kesopanan. 

Di sisi lain jika berguru atau belajar pada media sosial ataupun Artifcial intelgence lainya, efek negatifnya adalah  manusia kekeringan rasa kepekaan, kehalusan  perasaan keindahan budi pekerti, kepekaan empati, dan solidarits sosial. Oleh sebab itu dalam mencari ilmu sumber ilmu haruslah jelas, istilah sanad keilmuan dalam dunia pesantren memang sangatlah penting disana mengjarkan memperhalus perasaan dengan mengormati guru, tabe-tabe dalam mengambil keilmuanya serta budaya saling menghormati dalam batas kewajaran. 

Sekarang dapat kita dapat membedakan filsuf orginal dan filsuf karbitan. Filsuf original terlahir dari proses tempaan yang keras, secara sistematis dan membutuhkan waktu yang lama, sedangkan filsuf karbitan menjadi bijak dengan modal paket data.

kategori filsuf karbitan adalah mereka manusia yang tanpa berpikir panjang, aksiologi yamg tak jelas dan berkhutbah di medsos dan dipercaya setiap omomganya mengalahkan dari para pakar. Mereka terlegitimasi kepercayaan public disebabkan mempunya followers yang banyak di media sosial serta dekat dengan penguasa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun