Pendahuluan
Memahami negara dalam konteks tanggungjawabnya menyediakan pangan yang cukup untuk jangka waktu panjang merupakan salah satu masalah klasik yang dihadapi seluruh negara bangsa di dunia. Apapun jenis pangan yang dikonsumsi sebagai bahan makanan pokok masyarakat suatu bangsa, harapan tersedianya pangan yang cukup bagi kebutuhan konsumsi warga negara adalah agenda hari per hari. Apapun ideologi politik yang dianut, sistem ekonomi yang dipilih, kondisi obyektif dan geografis lingkungan alam sebuah negara masalah pangan adalah masalah yang tidak bisa diabaikan sedetikpun. Dengan demikian kita bisa sepakat bahwa untuk soal satu ini hendaklah kita fikirkan dengan cermat baik strategi merancang ketahanan pangan hingga langkah-langkah menguatkan kedaulatan pangan dan kemandirian pangan sebagai bentuk paling ideal untuk menjamin rasa aman bagi penguasa maupun rakyatnya.
Negara-negara sosialis pernah meyakini bahwa nasib kaum proletar dapat saja ditentukan oleh bagaimana negara dikuasai oleh kaum buruh dan rakyat marginal, faktanya negara sosialis juga harus dikelola oleh orang-orang juga yang memiliki potensi berkhianat dan hanya memikirkan diri sendiri dan kelompoknya (kaum polit biro). Para elit kekuasaan memiliki kepentingan sendiri dan mengabaikan kesejahteraan rakyatnya. Hal yang sama dengan negara-negara kapitalis beranggapan bahwa selamatersediamodal (capital) yang besar maka urusan pangan dapat dipecahkan dengan membeli atau mengimpor saja dari negara lain yang surplus dan kelebihan persediaan pangan. Cara pandang semacam ini sangat sensitif dan rentan terhadap perubahan sikap politik negara produsen sebagaimana kecenderungan monopsoni dalam industri pertahanan. Perbedaannya jika pangan disebar untuk menolong mereka yang kelaparan, maka senjata diperjualbelikan untuk membunuh mereka yang tak berdosa. Pangan menyelamatkan mereka yang kelangkaan makanan, sedangkan senjata membuat jahat mereka yang menggenggamnya.
Wacana negara dan pangan selama ini secara umum masih berputar pada isu yang terbatas, belum substantif dan kurang strategis. Jika bukan tema gonjang ganjing (volatilitas) harga, maka isu-isu yang diangkat soal-soal turunnya produksi, masalah distribusi hingga tingkat konsumsi yang meningkat sebagai dampak langsung meningkatnya kemampuan ekonomi, peningkatan demografi maupun perubahan pola konsumsi masyarakat. Sepanjang pengamatan penulis masih terbatas kajian dan keberanian untuk membicarakan sejauhmana negara bertanggungjawab atas pangan, mengapa proporsi anggaran pembangunan pertanian hanya kurang dari 4 persen total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, bagaimana membuat tata ruang wilayah dan tata guna lahan untuk selanjutnya konsisten melarang konversi lahan pertanian subur untuk pembangunan perumahan, jalan, jembatan maupun fasilitas komersial lainnya. Termasuk didalamnya adalah pembatasan luas kepemilikan lahan pertanian subur oleh pribadi dan korporasi agarluas lahan pertanian dapat dipertahankan dan ditingkatkan. Masih banyak lagi tema-tema strategis terkait wacana negara dan pangan karena membicarakan masalah pangan pada dasarnya termasuk membicarakan tentang “rasa aman mereka yang kenyang dan rasa sedih mereka yang kelaparan”.
Mereka yang kekenyangan karena berlimpahnya persediaan pangan dan berbagai jenis makanan dan mereka yang kelaparan karena ketiadaan pangan dan segala jenis makanan untuk dikonsumsi. Kondisi ini tidak hanya menghantui negara-negara miskin dan sedang konflik di Afrika seperti Somalia, Ethipia, Rwanda hingga Mali, Chad, Sierra Leone, Suriah, Mesir dan Mozambique dan 36 negara lainnya (laporan FAO 2011), namun kadang-kadang juga menimpa negara yang aman dan stabil namun tidak memiliki daratan yang subur. Khusus krisis beras dapat dikonfirmasi juga sedang melanda saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air.Sebagai akibat penyeragaman jenisbahan makanan secara nasional dimasa lalu yakni beras, maka Indonesia harus mengirim beras ke wilayah Papua yang makanan pokoknya sagu dan umbi-umbian. Beras dari Sulawesi atau pulau Jawa senilai 10 juta rupiah dikirim menggunakan transportasi udara pesawat helicopter dengan biaya lebih dari 10 juta rupiah. Seharusnya Papua diarahkan untuk swasembada sagu (lahan 2 juta hektar) sehingga program pangan untuk keluarga miskin diberikan dalam bentuk sagu atau singkong. Kelak jika diwilayah konsumsi beras dikenal bantuan beras miskin (raskin), maka daerah konsumsi sagu dikelompokkan dalam gukin (sagu miskin). Daerah konsumsi singkong mendapat kongkin.
Tidak jarang kelaparan juga melanda tetangga kita yang berada dalam kondisi miskin absolut. Karena itulah penting untuk menegaskan pengakuan atas keragaman pangan dan nilai strategis pangan lokal. Jika terjadi krisis beras didaerah lumbung sagu atau singkong, maka dapat dipastikan tidak terjadi krisis pangan, melainkan hanya krisis beras. Inilah tantangan bersama ummat manusia baik dalam lingkup lokal, nasional dan internasional. Masalah pangan telah menjadi agenda dunia dan dibicarakan di PBB melalui FAO. Laporan terkini FAO tahun 2011 hingga laporan terakhire 2014 menunjukkan ada 36 negara di dunia sedang dilanda krisis pangan. Sekitar 21 negara dalam krisis pangandi Afrika yakni Lesoto, Somalia, Swazealand, Zimbabwe, Eritrea, Liberia, Mauritania, Sierra Leone, Burundi, Republik Afrika Tengah, Chad, Congo, C’ote d’Ivoire, Ethiopia, Ghana, Guinea Bisau, Kenya, Sudan, Uganda. Ada 9 negara dikawasan Asia yakni Irak, Afgahanistan, Korea Utara, Bangladesh, Indonessia, Nepal, Pakistan, Srilangka, Timor Leste. Ada 4 negara dikawasan Amerika Latin Bolivia, Haiti, Nicaragua dan Republik Dominika yang dilanda banjir. Selanjutnya hanya ada dua negara di Eropa yakni Republik Moldova dan Federasi Rusia.
Pangan Selain Beras
Pemahaman sederhana mengenai pangan selain beras (food other than rice) artinya setiap bahan makanan yang mengandung karbohidrat, nutrisi dan mineral yang dapat dikonsumsi manusia bagi kelangsungan hidup bersama. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keragaman jenis pangan seperti jagung, singkong, ubi, talas, sagu dan berbagai jenis umbi-umbian yang dapat menjadi sumber bahan makanan masyarakat. Masalahnya kebijakan pengembangan pangan harus memasukkan upaya fokus dan sungguh mengembangkan seluruh jenis sumber bahan makanan. Pangan selain beras di Indonesia memiliki akar historis dan budaya lokal. Karena itulah pangan selain beras juga dikenal sebagai makanan lokal atau local food. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa daerah dan suku bangsa tertentu di Indonesia sebagian besar mengkonsumsi pangan yang berbeda dengan daerah lainnya. Sebagian penduduk Papua sangat gemar konsumsi sagu dan singkong. Sementara penduduk NTT sebagian gemar konsumsi jagung titi atau jagung tumbuk dan jagung rebus. Penduduk pegunungan di Sumbawa juga masih gemar konsumsi ubi, gadung dan umbi-umbian lainnya yang tersedia dialam bebas. Pemerintah dan pemerintah daerah harus memihak pada kebijakan local food melalui UU dan Perda yang bertujuan melindungi dan mengembangkannya.
Perdebatan mengenai sebab-sebab krisis pangan masih berputar pada temuan atas kesalahan kebijakan pemerintah mengenai pembangunan pertanian semata. Padahal isu pangan melampaui sekedar isu kebijakan negara. Didalamnya terkait isu perdagangan, teknologi, permodalan, mental bertani, insentif, subsidi dan persaingan antar negara dalam upaya mendapatkan keuntungan dari krisis pangan disuatu kawasan dihadapkan dengan surplus pangan dikawasan lain. Pangan itu sendiri masih kurang kita fahami secara lengkap. Para pengamat dan pejabat juga terjebak dalam pemahaman sempit bahwa seolah-olah pangan hanya beras. Selanjutnya krisis beras langsung dikaitkan dengan krisis pangan. Paradigma yang dibenar adalah krisis beras belum pasti menjadi krisis pangan, khususnya bagi negara seperti Indonesia yang memiliki keberagaman setidaknyua 7 jenis pangan dan aneka pangan lokal seperti singkong, jagung, ubi, sagu, talas, rumput laut dan umbi-umbian hingga hasil lain yang mengandung karbohodrat dan nutrisi tinggi. Jika kita cermati berdasarkan spesies dan genum maka kita terkejut bahwa untuk jenis ubi saja terdapat beberapa spesies ubi putih, ubi merah, ubi biru. Faktanya beberapa jenis pangan selain beras memiliki potensi besar dalam kualitas dan kuantitas jika pemerintah dan pihak terkait menyadari besarnya potensi ini. Pengolahan jagung menjadi bihun jagung merupakan salah satu contoh sukses yang baik. Demikian pula beberapa jenis rumput laut (cottoni sp) yang dapat menjadi sumber pangan bergizi tinggi setelah diolah menjadi dodol rumput laut dan produk olahan lainnya.
Lembaga UNEP, UNDP, UNHCR, UNESCO dan UNICEF serta Internasional NGOs berulang kali mendiskusikan masalah besar ini ketika isu-isu lingkungan dan perubahan iklim global menjadi variabel penting sebagai sebab yang mengancam produksi dan stock pangan global dalam beberapa dekade terakhir. Rekomendasinya secara khusus mendorong perubahan paradigma pemerintahan dalam memandang isu pertanian. Selainjutnya diperlukan solusi segera dan strategis untuk menjawab masalah.
Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki luas daratan potensial untuk kegiatan pertanian mencapai 25 juta hektar. Meskipun hingga hari ini diperkirakan hanya sekitar 8 juta hektar yang telah dioptimalisasi bagi segala jenis kegiatan pertanian untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Jika asumsi optimalisasi produksi beras saja mencapai 70 juta ton pertahun darirasio 8 juta hektar lahan sawah dan lahan sub optimal, maka perkiraan optimis menunjukkan bahwa Indonesia memiliki fleksibilitas ruang gerak untuk mencapai 140 juta ton jika mampu optimalisasi 16 juta hektar lahan sawahnya. Secara matematis melalui persamaan diferensial bahwa angka produksi tahun ini kita kali dua. Pertanyaan mendasar yang harus diajukan adalah strategi apa saja yang harus disiapkan untuk mencapai target ini. Strategi apa yang paling tepat, sumberdaya manusia seperti apakah yang diperlukan, berapa banyak gudang BULOG yang diperlukan untuk menyimpan, bagaimana mengurangi penggunaan pupuk kimia dan memperluas penggunaan pupuk kandang dan kompos hingga persoalan bibit, karantina, penyuluhan dan gerakan-gerakan lebih operasional yang terarah, terencana dan terukur.
Target pencapaian swasembada dan kemandirian pangan dengan sendirinya akan hadir ketika seluruh potensi gerakan ini kita arahkan untuk meraih keberhasilan. Fokus kita tidak hanya pada produksi, namun juga aspek lain yang kadang-kadang tidak berhubungan langsung dengan soal pangan, misalnya perbaikan dan pembangunan irigasi, merawat hutan alam dan hutan lindung sebagai jaminan sumber air bagi pertanian, membatasi impor apapun jenis pangan dan bahan makanan untuk melindungi pasar pangan dalam negeri hingga soal teknologi pengolahan, pengeringan dan pengawetan hasil panen. Pada akhirnya rancangan kita adalah soal industrialisasi pertanian yang menjadi mesin pertumbuhan ekonomi (engine of economic growth) bersama sektor lainnya. Semakin beragam jenis pangan semakin banyak inovasi teknik bertani dan pertanian untruk tiap-tiap komoditi. Agri-industri dan agro-bisnis yang tangguh akan menjadi penopang seluruh keberhasilan dengan strategi saling melengkapi dan saling melindungi. Pertanyaannya, bagaimana mengubah paradigma petani yang tidak hanya asikmenanam namun buta pemahaman bisnis hasil pertanian dan teknologi paska panen. Petani harus dilatih bertani canggih selanjutnya juga dilatih mengolah dan menjual sendiri hasil pertanian mereka. Dengan demikian petani meraih nilai tambah dan keuntungan dari kegiatan bertani (agri-culture) dan menjual hasil pertanian (agri-bisnis).
Terima kasih,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H