Mohon tunggu...
Iwan Fauzi
Iwan Fauzi Mohon Tunggu... Bidan - Belajar menulis

Tempat mengarang bebas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Balada Seorang Aktivis

10 Mei 2021   02:29 Diperbarui: 10 Mei 2021   02:38 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku mengenalnya di saat gelora aktifisme membuncah di dadanya. Perawakan tubuhnya memang semampai tapi tak menyurutkan langkahnya untuk maju ke medan. 

Laksana panglima, pantang mundur sebelum musuh hancur. Ini semua tidak lepas dari buku-buku yang dia lahap hingga menjelang pagi; keadilan. 

Aku berulang kali di buat kagum kagum dan terhenyak ketika dia melontarkan pertanyaan yang kadang hanya menunjuk ke air tapi tepat ke laut. Kadang aku linglung sendiri bila berhadapan dengannya. Dari aspek intelektualitas, memang keren walau tak sempat kuacungi jempol. Ogah. Dialah lana, begitu aku memanggilnya.

Hingga pada suatu waktu, intelektuliatas itu terbenam tiba-tiba. Ketika dia tanpa sengaja terjerembab pada satu kerling mata seorang wanita. Tajam dan runcing. Satu lirikan berjuta aksara. Satu kedipan sejuta makna. Lana terkulai lemas di buatnya. Namun sebagai aktifis, tentu perasaan itu tak ingin diceritakannya kepada yang lain. Dunia cinta adalah dunia cengeng, begitu katanya. Namun dia salah. Dinding raksasa dimana dia sering menjerit tentang kesendiriannya ternyata melahirkan gema. Pantulan suara bertalu terdengar ke telinga yang lain. Lana pun gelisah. Tembok aktifisme progresif yang sudah lama dibangun, kini runtuh. Dia memang terlalu angkuh hingga dijatuhkan oleh perasaannya sendiri. Dia malu. Aku pun tertawa lepas. "Guoooblok!" kataku tepat ke gendang telingnya. Wajahnya terrtunduk khusyuk ke jantung rasa malunya. Rasain!

Namun setelah kutahu siapa wanita yang tega merampok hati lana, akhirnya aku memaklumi semua perasaan lana. Wajar. Kecantikan wajahnya memang bunga sedang mekar-mekarnya. Tak ada celah untuk mencela. Paripurna. "Senyum inikah yang telah mencongkel hati lana dari kesombongan aktifisme?" tanyaku dalam hati ketika melihat dia sedang asyik bermain bersama teman-temannya. "Emang bangsat sih, aku aja sempat terkesima ama senyumnya apalagi lana yang sok aktifis itu" gumamku sambil berlalu. Fitriani namanya. Seorang cewek sadis perampok hati lana.

Pertanyaan yang segera muncul adalah bagaimana dia harus mengutarakan perasaannya terhadap wanita yang jinak namun merpati itu? Negara beserta kebijakan-kebijakannya memang mudah ditaklukkan dengan satu hentakan demonstrasi. Tapi ini hati dimana terkumpul segala misteri Tuhan. Lana mencoba menyulut api keberanian namun mati sebelum melangkah. "Andai dia seorang presiden maka akan kutulis sejuta kritik dan akan kugelar ribuan demo untuk menaklukkannya. Tapi dia hanyalah seorang wanita dimana hatiku bertumpu padanya." pikirnya  suatu malam. Tak ada bahasa tas tis tus yang bisa keluar dari bibir lana sebagaimana biasanya. Mulutnya hanya berdzikir nama namanya. FIT. Begitu seterusnya hingga pagi menjelang. Terlelap menjadi kebutuhan sehari-hari karena malam selalu dilanda rindu. Lana memang tak butuh mimpi, dengan terlelap ia hanya sejenak melepas ingat. Rupanya kerinduan pada fitriani membuatnya terjaga. "Bukan secangkir kopi tapi setetes rindu yang membuatku tak bisa tidur. Kan bangsat! Dan esok hari merupakan hari terakhir aku ke kampus. Lalu gemana nasibku?" kemelut hatinya makin menyulut bara.

Tepat di hari terakhir itu, lana mulai memasang kuda-kuda. Laksana seorang pesilat, segala jurus siap dikeluarkan untuk menaklukkan musuh. Dia menghampiri Fitriani. Kemudian membawanya ke sebuah warung dimana aktifis sering makan. Warteg. Dengan bahasa seorang demosntran, lana berbisik, "Jujur saja, ini sungguh tidak adil jika perasaan ini hanya aku yang merasakannya. Maukah kau merasakan apa yang aku rasakan?" suara tulus keluar dari bibir aktifisme lana. Fitriani ingin menjawab. Tapi ibu wartegnya keburu pengen tutup. Lana kecewa tapi tetap berharap. Hingga kisah ini ditulis, jawaban Fitriani masih belum terdengar ke khalayak. Mungkin saja lana ditolak. Tapi entah.

Kasihan ama lana kalau ditolak. Karena pengalaman putus terakhir hanya ama tali puser.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun