Mohon tunggu...
iwan eko
iwan eko Mohon Tunggu... Administrasi - Selalu senang berkawan

hobby otomotif dan bergaul

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sejarah Singkat Pengangkatan Sudirman Menjadi Jenderal

11 November 2024   19:00 Diperbarui: 11 November 2024   19:07 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SEJARAH SINGKAT PENGANGKATAN SUDIRMAN MENJADI JENDERAL 

1.  Masa Kanak-kank Jenderal Sudirman

Sudirman  dilahirkan pada tanggal 24 Januari 1916 di Desa Bodas Karangjati, Kecamatan Rembang,  Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Sudirman  terlahir dari keluarga yang sederhana bahkan bukan  dari kalangan militer. Ayahnya bernama Karsid Kartawiradji dan ibunya bernama Siyem. Untuk  memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, orang tua Sudirman pernah bekerja di sebuah pabrik, bertani dan menjadi pedagang antar kampung.

Perjalanan hidup Sudirman bisa dikatakan beruntung, meskipun ia harus berpisah dengan orang tuanya kandungnya, namun Sudirman hidup dalam lingkungan orang tua angkatnya yang ekonominya  berkecukupan. Alasan Raden Tjokrosunaryo mengadopsi Sudirman karena ia tidak dianugerahi  keturunan meskipun memiliki tiga istri. Bahkan, nama Sudirman  bukan pemberian dari orang tua kandungnya sendiri, akan tetapi nama tersebut diberikan oleh Raden Tjokrosunaryo. Sebab itulah,  sebagian ada yang menyebut bahwa Sudirman bergelar "Raden Sudirman ".

Kehidupan pendidikan Sudirman sangat sederhana layaknya penduduk pribumi lainnya zaman penjajahan. Proses pendidikannya lebih banyak ditempuh di surau dengan cara mengaji atau belajar  ilmu agama. Sudirman mengenyam pendidikan dasar melalui didikan ayah angkatnya. Kesederhanaan  hidup Sudirman tumbuh dari latar belakang dirinya yang lahir dari keluarga kurang mampu. Namun karena kebaikan hati pamannya, ia bisa tumbuh menjadi pribadi dengan nilai-nilai moral dan  pendidikan yang baik. Sehingga dapat membuat jiwanya ramah penuh kebijaksanaan.

Pada masa kolonial, penduduk pribumi tidak bebas melakukan aktivitas sehari-hari. Keterbatasan ini tentu menjadi kendala bagi masyarakat, kecuali mereka yang diberi jabatan oleh pemerintah kolonial, seperti Raden Tjokrosunaryo yang menjadi asisten wedana. Karena itulah, Sudirman  di bawah asuhan Raden Tjokrosunaryo memiliki kesempatan lebih banyak dalam mengenyam pendidikan. Selain pendidikan non formal seperti di surau, Sudirman  juga mendapat kesempatan mengenyam pendidikan umum atau formal. Pada usia tujuh tahun, Sudirman  masuk HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Cilacap.

Setelah lulus dari HIS tahun 1930, selama dua tahun Sudirman  tidak sekolah, dan sebagai gantinya ia bekerja, bertani, dan mengaji. Pada tahun 1932 Sudirman  memasuki MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) Wiworotomo dan tamat pada tahun 1935. Perguruan Wiworotomo merupakan perguruan  yang bertujuan menampung anak-anak pribumi yang tidak memiliki kesempatan melanjutkan  pelajarannya di sekolah (negeri). Di MULO Wiworotomo, Sudirman  mendapatkan didikan dari guru-guru  yang merupakan tokoh pergerakan anti Belanda, seperti R. Sumoyo (tokoh Budi Utomo), dan R.  Suwarjo Tirtosupono (lulusan Akademi Militer Breda di Belanda).

Pada masa mudanya Sudirman  dikenal sebagai seorang pemuda yang tumbuh bertanggung jawab  dan senang mengikuti berbagai kegiatan perkumpulan/organisasi. Sudirman  selain aktif dalam organisasi kepanduan, ia juga aktif di Hizbul Wathan, yaitu sebuah organisasi yang berada di bawah naungan Muhammadiyah. Setelah lulus mengenyam pendidikan, Sudirman  berkarir menjadi seorang  guru di sekolah Hollandsche Indische School (HIS), sebuah sekolah rakyat milik Muhammadiyah pada  tahun 1936. Tidak lama kemudian, ia diangkat menjadi kepala sekolah di instansi tersebut karena kemampuan yang dimilikinya. 

Dedikasi Sudirman  dalam pendidikan dan berorganisasi terus ditekuninya. Pada tahun 1937, Sudirman  kemudian menjadi salah satu pemimpin organisasi Pemuda Muhammadiyah. Bahkan ketika Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942, Sudirman  masih setia menjadi guru. Kedatangan Jepang ke Indonesia pada 8 Maret 1942. Pada awal pemerintahannya, Jepang mengeluarkan kebijakan untuk menutup sekolah HIS Muhammadiyah, tempat Sudirman  mengajar.

Pada saat itulah, muncul rasa kecewa atas kebijakan Jepang. Sebagai bentuk dari kekecewaan tersebut, kemudian Sudirman  bersama teman-temannya mendirikan perkumpulan yang dibawahi oleh sebuah koperasi dagang bernama Perbi. Inisiatif tersebut muncul dari usaha yang dilakukan oleh ayah mertuanya sebagai pedagang batik. Sementara tujuan koperasi dagang Perbi ini sebagai lembaga yang mengakomodir berbagai bahan makanan dan beberapa keperluan hidup sehari-hari yang kemudian dijual dengan harga murah kepada masyarakat.


2. Perkenalan Sudirman  dengan Militer

Perkenalan Sudirman  dalam dunia militer tidak bisa dipisahkan dengan perjuangannya saat mendirikan koperasi dagang. Melalui gerakan koperasi dagang tersebut, sikap kejujuran dan jiwa militan Sudirman  mulai terlihat, hingga akhirnya ia ditunjuk untuk menjadi salah satu kader dalam pelatihan Pembela Tanah Air (PETA). PETA (Giguyun) merupakan organisasi bentukan Jepang yang didirikan pada bulan Oktober 1943. Proses pelatihan dalam PETA, secara tidak langsung memberikan pendidikan kemiliteran bagi rakyat Indonesia. PETA merupakan suatu lembaga yang memiliki gerakan semi-militer bentukan Jepang yang sifatnya sukarela dengan perekrutannya dari kalangan rakyat Indonesia.

Karir kemiliteran Sudirman  dimulai ketika resmi menjadi anggota PETA yang dibentuk dan dilatih oleh Jepang. Pada tahun 1943, Sudirman  diangkat oleh pemerintahan Jepang menjadi anggota Syu Sangikai, Banyumas. Setelah selesai mengikuti pelatihan PETA, Sudirman  diangkat sebagai Daidanco (Komandan Batalyon) yang ditempatkan di Kroya, Banyumas. Sejak Sudirman  diangkat sebagai Daidanco oleh pemerintahan Jepang, secara tidak langsung ia telah memulai karir hidupnya dalam dunia militer. Seiring berjalannya waktu, Sudirman  dan beberapa perwira PETA lainnya dianggap berbahaya bagi pemerintahan Jepang, mereka dipanggil untuk berangkat ke Bogor dengan dalih akan mendapat pelatihan PETA tingkat berikutnya. Padahal Sudirman  dan beberapa perwira yang lain dipanggil dengan maksud untuk dibunuh oleh pemerintahan Jepang. Akan tetapi inisiatif tersebut tidak terwujud, karena pada 14 Agustus 1945 pemerintahan Jepang menyerah pada sekutu.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada 18 Agustus 1945 pihak Jepang membubarkan PETA. Sudirman  kemudian mengumpulkan para perwira didikan PETA, lalu membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Peristiwa tersebut membuat kondisi negara mulai mengkhawatirkan, karena tentara sekutu masuk ke Indonesia yang diikuti oleh Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Maka tidak mengherankan jika Sudirman  membentuk BKR sebagai salah satu bentuk pertahanan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. 

Seiring perkembangannya, istilah BKR yang dibentuk oleh Sudirman  itu terus mengalami perubahan hingga empat kali. Pertama, dari BKR (Badan Keamanan Rakyat) menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) pada 5 Oktober 1945. Kedua, dari TKR (Tentara Keamanan Rakyat) menjadi TKR (Tentara Keselamatan Rakyat) pada 7 Januari 1946. Ketiga, dari TKR (Tentara Keselamatan Rakyat) menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia) pada 26 Januari 1946. Keempat, dari TRI (Tentara Republik Indonesia) menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) pada 3 Juni 1947.


Peristiwa yang cukup menggemparkan terjadi pada 20 Oktober 1945. Pada saat itu, pasukan tentara Inggris mendarat di Semarang untuk melucuti senjata dan menaklukkan Jepang. Setelah berhasil melakukan hal itu, tentara Inggris menuju ke Magelang dengan maksud untuk membebaskan warga Belanda yang menjadi tahanan Jepang. Ternyata setelah tentara Inggris berhasil menuju Magelang, mereka tidak mau untuk melangkahkan kaki keluar dari Magelang dan berusaha bertahan di Magelang untuk menguasai daerah tersebut.

Pertempuran tidak bisa dielakkan, ketika secara diam-diam pasukan tentara Inggris keluar dari Magelang dengan tujuan Ambarawa.14 Di wilayah inilah TKR berusaha mengejar mereka dan terjadilah pertempuran. Pertempuran dengan pasukan TKR dipimpin oleh Letnan Kolonel Isdiman Suryokusumo (komandan resimen TKR Banyumas).  Ia menjadi tangan kanan Sudirman  sekaligus perwira terbaik dalam TKR. Sayangnya, dalam pertempuran itu, Isdiman, salah satu pasukan TKR harus gugur.

Selanjutnya pada 11 Desember 1945, Sudirman  menggelar rapat dengan komandan sektor TKR. Rapat digelar dalam rangka mengusir tentara Inggris yang posisinya di Ambarawa. Pada 12 Desember 1945, saat dini hari, serangan dimulai yang dipimpin oleh Sudirman . Pertempuran pun meletus di Ambarawa dan sekitarnya. Taktik yang digunakan oleh Sudirman  adalah "Supit Urang", (strategi pengepungan rangkap) sehingga tentara Inggris benar-benar terkepung dan mundur menuju arah Semarang. Pertempuran terjadi selama empat hari empat malam, pertempuran Ambarawa berakhir pada 15 Desember 1945 dengan kemenangan pasukan Sudirman  di bawah panji TKR.

Atas jasa perjuangan Sudirman  dan beberapa tokoh hingga memperoleh kemenangan pada pertempuran Ambarawa, kemudian diabadikan dalam bentuk Monumen Palagan Ambarawa dan peringatan Hari Infanteri (Juang Kartika) setiap tanggal 15 Desember tiap tahunnya.

Negara sempat mengalami kekosongan kursi panglima besar, sehingga negara berusaha mencari panglima yang sesuai dalam memimpin komando bagi tentara Indonesia. Situasi ditambah dengan ketidakstabilan negara dengan adanya Agresi Militer Belanda I. Pemerintah memutuskan untuk mengadakan pemilihan calon panglima TKR.

Ketika pemilihan itu diadakan, seluruh komandan resimen dan komandan divisi untuk mengikuti jalannya pemilihan panglima besar yang akan mengomando mereka. Empat kandidat tersebut adalah Sri Sultan Hamengkubowono IX, Letnan Jenderal Urip Sumaharjo, Jenderal Mayor Gusti Purbonegoro (mantan kasat pertama dari Keraton Solo), dan yang terakhir adalah Kolonel Sudirman . Saat itu, Sudirman  masih berpangkat rendah di antara kandidat lain. Ia masih seorang perwira yang bertugas di Komandan Divisi V Banyumas. Namun, secara mengejutkan ia mampu mengalahkan 3 kandidat lainnya. Bahkan saingan terdekatnya adalah Jenderal Urip Sumoharjo dengan selisih satu suara.

Keberhasilan Sudirman  dalam memimpin perjuangan tersebut membuat pemerintah semakin yakin dan percaya akan kecakapan Sudirman  dalam memimpin tentara. Keberhasilan Sudirman  dalam memimpin berbagai perjuangan, maka akhirnya Sudirman  dilantik menjadi panglima TKR pada tanggal 18 Desember 1945, dari yang semula berpangkat kolonel naik menjadi Jenderal.


Kemudian pemerintah mengangkat seorang Jendral sebagai wakil Sudirman  yaitu Letnan Jenderal Urip Sumaharjo. Keputusan yang diambil oleh pemerintah sudah sangat tepat dengan melantik Jenderal Sudirman  menjadi Panglima TKR.

Hal ini berkaca dari kemampuanya dalam menjalankan peperangan mengusir sekutu dari negara ini. Setelah dilantik kemudian ia menempati rumah dinas di Bintaran Yogyakarta beserta keluarga selama kurang lebih 3 tahun lamanya.


REFERENSI

  • Marsus, Ahmad Wahyu Sudrajad, Fransiskus Prihono. (2022). Sejarah Jenderal Sudirman di Kabupaten Bantul. DI Yogyakarta: CV. Banyu Bening Sejahtera.
  • https://id.pinterest.com/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun