Hampir setiap saat di mana pun kita berada dan beraktifitas, kita akan melihat sampah yang berceceran di jalanan, di saluran air, di trotoar, di pinggir perumahan, di tanah kosong, di tempat sampah sementara, bahkan di area parkir mobil, di ranting pohon dan tempat-tempat aneh lainnya. Pada saat anda melihat kondisi itu pun tidak tergerak hati sedikit pun untuk mengambil sampah yang berceceran itu untuk kemudian dimasukkan ke dalam tempat sampah yang semestinya.
Perilaku seperti ini, yaitu membuang sampah sembarangan dan membiarkan sampah berceceran, sudah menjadi budaya orang Indonesia dari dulu hingga kini. Tidak ada terpikir sedikit pun pada saat membuang sampah secara sembarangan, bahwa hal itu dilarang atau paling tidak mengganggu pemandangan. Ini semua berawal dari soal pola pikir kita yang mungkin merasa Indonesia itu tanah yang subur, makmur, apa pun yang ditanam akan tumbuh dengan subur. Lalu apakah jika membuang sampah ke tempat yang bukan tempat sampah, lalu tidak akan mengganggu kelestarian alam ini? Gawat ya, sebodoh itukah masyarakat kita atau sudah sebegitu acuh terhadap masalah seperti ini, mengingat banyak masalah lain yang sedang menimpa?
Jika kita hanya menunggu, pasif, menonton, maka tidak akan ada daerah di Indonesia yang benar-benar layak mendapatkan Piala Adipura, karena semua itu hanyalah ritual formalitas belaka. Untuk menjadikan lingkungan kita bersih tidak harus menunggu kesempatan mendapat Adipura atau menunggu pemerintah memperketat Undang Undang Persampahan. UU No. 18 Tahun 2008 tentang Penanganan Sampah, sebenarnya sudah cukup untuk langsung diaplikasikan, namun sekali lagi sayangnya aparatnya sendiri tidak serius menegakkan aturan tersebut. Di dalam UU tersebut ada menyebutkan, bahwa siapa pun yang menghasilkan sampah wajib mengolahnya, baik itu individu maupun kelompok. Disebutkan pula, bahwa tempat sampah model open dumping (tumpukan terbuka) sudah tidak diperbolehkan lagi beroperasi mulai tahun 2013. Namun sepertinya sampai saat ini masih adem-adem saja. Tidak ada gerakan untuk mengingatkan setiap pihak dalam hal menta'ati peraturan ini.
Kami hanya memiliki kemampuan untuk memberikan pemahaman kepada sesama dalam hal pentingnya mengubah pola pikir (mindset) tentang penanganan sampah sejak dini. Mulai dari perumahan, tempat usaha, perkantoran, pasar, pertokoan, rumah makan, tempat wisata dan lainnya, harus sudah memulai gerakan pemilahan sampah antara organik (basah) dan anorganik (kering), serta residu (sampah tidak bernilai dan sampah B3). Mengapa? Karena dengan dimulainya gerakan ini, maka penanganan sampah selanjutnya oleh pihak swasta ataupun Dinas Kebersihan akan lebih mudah. Sampah organik akan diolah menjadi kompos yang sangat bermanfaat untuk penghijauan, budidaya tanaman, pengembangan pertanian organik, bahkan dapat diolah menjadi pakan ternak, termasuk ikan. Sampah yang anorganik dipilah, mana yang masih bernilai jual bisa mendapatkan pemasukan tambahan. Yang dapat didaur ulang, seperti kertas, kardus, botol plastik, beling, logam tertentu bisa dijadikan produk kreatifitas bernilai ekonomis.
Nah, hal-hal tersebut bisa dilakukan dengan cara mengikuti pelatihan pemilahan dan pengolahan sampah terpadu yang kami adakan. Kami ingin membantu siapa saja, di mana saja yang berkeinginan mengubah kondisi lingkungannya menjadi lebih baik dan lebih nyaman ditinggali atau dijadikan tempat beraktifitas usaha. Mudah-mudahan, dengan langkah-langkah kecil ini lambat laun akan terjadi suatu perubahan yang signifikan di Indonesia.
Cerdaslah bangsaku, lestarilah alamku, sejahteralah bangsaku!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H