...
Secara naluri, kita pasti menolak adanya Dinasti Politik. Namun sayangnya, kita lupa untuk memeriksa jejak digital masing2 bahwa sebenarnya kita sendiri pernah mendukung hal itu.
Pencalonan Gibran menjadi heboh karena dirinya dianggap mendompleng nama bapaknya. Aji mumpung dengan ujug2 muncul dengan niat menjadi walikota solo periode 2020-2025.
Apa yang dilakukan Gibran, sebenarnya adalah refleksi sosok AHY ditahun 2017 Â
Nama AHY muncul di menit-menit terakhir penutupan pendaftaran calon gubernur DKI. Mengejutkan semua pihak. Selama ini, ia dikenal sebagai perwira menengah yang jauh dari hingar bingar politik. Berpangkat terakhir sebagai Letkol, AHY mempunyai prestasi gemilang di militer.
Entah apa yang meyakini SBY, sampai mengorbankan karir anaknya di militer. Seharusnya yang cocok dicalonkan kala itu adalah adiknya AHY, Ibas. Karena Ibas sudah berkecimpung didunia politik dengan jabatan struktural di partai Demokrat.
SBY mengorbankan anaknya dengan memandang mempunyai latar belakang militer. Â Namun SBY lupa, untuk menjadi pemimpin hendaknya calon tersebut harus mempunyai kepedulian dibidang politik terlebih dahulu dan benar-benar sudah berkecimpung untuk melatih kepeduliannya.
Dan AHY mendapatkan nilai minus dalam kepeduliannya di bidang politik dan untuk mengetahui masalah bangsa ini. Yang dia tau hanya text book dengan belajar secara kilat dari konsultan politik di kepartaian Demokrat.
Sadar akan kekurangan AHY, kubu Demokrat sendiri mempunyai cara melambungkan nama AHY. Yaitu dengan bekerja sama dengan lembaga survey untuk angkat nama dirinya.
Gak heran hasil 5 lembaga survey tervesar menjelang pilkada DKI selalu menempatkan nama AHY dibawah ahok dengan selisih persentase yang kecil. Apa yang dijual Demokrat pada sosok AHY saat pilkada DKI?
Menjual ketampanan dan sisi kepemudaan pada diri AHY. Diluar itu, gak ada yang membanggakan dari AHY karena dirinya tidak mempunyai pengalaman apapun di birokrasi.