Sekedar mengingatkan bahwa musim mudik lebaran tahun depan diperkirakan jatuh pada jenis cuaca buruk di pertengahan bulan Juli. Bagi kaum nelayan di Juana, Jawa tengah menyebutnya dengan arus tempur dimana ombak dari dua arah bertemu kemudian terpisah membentuk dua arah gelombang dan bertemu lagi dan begitulah seterusnya hingga reda dalam beberapa hari. Hal itu jatuh pada pertengahan Juli. Mohon memperhatikan pola cuaca dan saya pikir siklus cuaca berulang secara kontinyu dalam setiap tahunnya. Untuk kebenarannya bisa ditanyakan pada para nelayan bagaimana karakteristik cuaca yang saya maksud di pertengahan bulan Juli itu.
Kemudian maksud dari tulisan ini adalah bercerita tentang pengalaman pribadi. Suatu hari perahu berlabuh di pantai Bawean. Selesai turun jangkar saya berdiri di sisi kanan perahu memandang pulau. Ku lihat ada sekumpulan orang di pantai yang terlihat sebesar semut. Terlintas di pikiran, bagaimana jika berenang ke tepi pantai itu. Ketika itu terdengar adzan dzuhur dari radio, kemudian lekas shalat. Setelah selesai saya ambil ban pelampung kemudian terjun berenang. Ban tersebut tidak digunakan selama berenang ke pantai dan juga meninggalkan pantai itu. Berenang dengan mendorong ban, tentu dengan lepas tangan tetapi menjaga tetap di jangkauan. Waktu yang ditempuh adalah 1 jam menuju pantai karena terdorong arus, sedangkan untuk kembali ke perahu menempuh 2 jam karena melawan arus dan sulitnya bukan main. Tiba di perahu bertepatan dengan kumandang adzan ashar. Ketika di pantai saya bertemu sekumpulan orang, saya menghampiri mereka dan bertanya. Seseorang menjawab sedang membentuk penahan gelombang, terlihat dari mereka yang sedang menyusun batu andesit. Dia berkata bahwa tempat ini terkena abrasi dan garis pantainya menyusut jauh. Kemudian balik berkata memastikan bahwa saya orang perahu dan tidak menanyakan maksud kedatangan saya. Sampai di sini selesailah kisah saya.
Apakah maksud dari tulisan ini? Sesungguhnya rasa takut pasti menghantui diri. Bagaimana jika perahu karam, dan suatu ketika pernah kejadian perahuku terbakar dari panasnya knalpot yang menyentuh dinding berbahan kayu. Pada suatu malam, kebetulan waktu itu saya belum tertidur seorang diri dan ditakdirkan mendapati dinding yang terbakar dengan nyala api. Jika terlambat diketahui maka nasib kami tidak tertolong di lautan lepas itu.
Kemudian pada kasus lain. Pernah bertemu dengan seseorang yang baru saja mengalami perahu karam. Dia berenang saja hingga ditemukan oleh kaum nelayan. Dia bersukur selamat dan menyatakan trauma, tidak akan kembali lagi. Dan selama masa bekerja, mendengar berita perahu karam dari radio terbilang sering. Dan pernah satu kali melihat banyak potongan kayu dan muatan perahu mengambang melintas mengikuti arus.
Bagaimana jika hal itu terjadi? Janganlah panik. Karena pilihan adalah resiko maka janganlah panik, juga bagi mereka penumpang angkutan laut. Pernahkah melihat berita seorang marinir berenang seharian dari Lampung menuju Merak tanpa alat berenang di tahun 1990, berita sore TVRI. Hal itu juga yang menginspirasi saya berenang ke Bawean tersebut. Berenang adalah pilihan terakhir jika sesuatu itu terjadi. Berenang di lautan tidak mudah tenggelam, gerakkanlah sedikit kaki dan jangan menguras tenaga, cukup berada di permukaan air saja untuk bernapas. Untuk bertahan diperkirakan 3 hari tanpa tidur dan makan, dan selama itu adalah harapan ditemui orang maka siapkanlah suar seperti membuka baju untuk dilambaikan jika melihat perahu di kejauhan. Untuk jaman sekarang perairan di Nusantara banyak dilalui perahu, terlebih ada radio. Dan naluri pelaut adalah memandang semua arah, membaca karakter cuaca dan karakter perubahan keadaan laut setiap harinya.
Sebetulnya tulisan ini tidak berarti, tetapi mereka dari masyarakat sepertinya buta, tidak tahu dan tidak menghiraukan diri, dilihat dari pengamatan di televisi. Dan saya menaruh perhatian penuh dengan tema ini dari tayangan berita televisi. Termasuk tenggelamnya TKI ilegal di sumatra, korban terseret arus di pantai, dll. Akhir kata, saya mengingatkan tentang pola cuaca di pertengahan bulan Juli musim mudik lebaran tahun depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H