Peristiwa bentrokan antara Satpol PP , warga masayarakat dan Polisi yang terjadi di wilayah Koja Tanjung Priuk Rabu kemarin, yang telah merenggut korban tewas, di pihak Satpol PP dan korban luka di pihak polisi dan warga masyarakat, mengingatkan saya pada perstiwa sekitar tahun 1984 yang lebih dikenal sebagai Tragedi Priok. Tentu, bagi pihak-pihak yang terlibat, terutama para korban yang meninggal atau yang masih hilang, kenangan berdarah itu takkan mungkin terlupakan.
Saya sendiri bukanlah pelaku sejarah, atau pengamat, hanya kebetulan peristiwa itu begitu saya ingat lewat pemberitaan di media cetak, baik televise maupun Koran. Kuatnya pengaruh orde baru yang sangat mengendalikan pers waktu itu, menyebabkan berita yang dimunculkan tidak berimbang. Tak ada satupun media yang berani memberitakan peristiwa itu apa adanya, apalagi yang secara terang-terangan menuduh pihak ABRI yang bertanggung jawab. Menhamkam waktu itu Beni Murdani dan Pangdam V Jaya waktu itu Try Sutrisno, adalah pigur yang paling ditakuti.
Tragedi Priok tersebut menurut isu yang berkembang diawali dari kedatangan oknum Koramil yang datang ke sebuah mesjid dan masuk ke mesjid tanpa melepaskan sepatu. Tentu saja ini yang menyulut kemarahan warga tanjung priok. Peristiwa itu itu berbuntut panjang. Dalam sebuah pengajian, salah seorang penceramah di tempat itu mengajak para hadirin untuk “berperang” melawan kedzoliman ABRI tersebut. Hal itu saya ketahui ketika sepuluh tahun kemudian dari kaset rekaman ceramah terakhir sebelum meletusnya tragedy Tanjung Priuk. Dengan berapi-api, penceramah tersebut mengajak para hadirin untuk mati sahid . Konon, penceramah itu pun mejadi salah satu korban yang tewas.
Setelah ceramah itu, terjadilah penyerangan ke kantor koramil. Tak ada media massa yang bisa menjelaskan bagaimana sesbenarnya peristiwa itu, sebab berita yang muncul adalah berita versi pemerintah yang tentu saja isinya sudah dipelantar-pelintir sesuai dengan hajat pemerintah. Kelompok penyerangan itu dianggap sebagai kelompok subvesif. Meski mengakui adanya beberapa korban tewas dan luka-luka, namun isu yang berkembang adalah korban tewas mencapai puluhan dan para korban itu ditumpuk begitu saja di dalam truk militer.
Tak ada permintaan maaf atau bela sungkawa, arogansi ABRI saat itu benar-benar menunjukkan wajahnya yang tanpa belas kasihan, dan menuding masyarakat sebagai tindakan subversive.
Dengan dimensi dan nuansa berbeda, sebenarnya tragedy Koja it memiliki akar yang sama. Jika yang terjadi adalah pelecehan oknum ABRI terhadap musola, sebuah tempat yang tent u saja dianggap sacral dan suci, sedangakan yang terjadi pada tragedy koja adalah ancaman gangguan terhadap makam yang dianggap memiliki nilasi sacral terutama oleh masyarakat sekitar yang mempercayainya. Yang menarik adalah keduanya terjadi di daerah yang sama yakni Tanjung Priuk. Dengan kata lain, masyarakat di daerah itu menjunjung tinggi hal-hal yang bersifat sacral, dan berani mempertahankannya meskipun harus berkorban nyawa.
Bila pada saat orde baru , masyarakat di sana sudah begitu berani melawan dan rela mati, padahal waktu itu peranan pemerintah begitu dominan terhadap apapun yang berbau pemberotakan, apalagi pada saat ini dimana masyarakat memiliki kebebasan dan keberanian untuk “melawan” pemerintah, apabila merasa hak-haknya diinjak-injak. Seyogyanya, pemerintan DKI atau Satpol PP bisa berhitung ulang untuk melihat kejadian tanjung priok 1984 sebagai rujukan. Sehingga kasus Koja ini tidak sampai terjadi.
Saya melihat dari berbagai wilayah di Jakarta ini, dengan dua kasus yang telah saya sebutkan di atas, wilayah Tanjung Priuk memiliki keunikan tersendiri. Mereka memiliki solidaritas sosial yang tingg, serta kepekaan yang luar bisa terhada sesuatu yang bersifat sacral. Hal ini seharusnya menjadi pertimbangan tersendiri dari pihak pemerintah dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat di sana. Kenyataan ini pun harusnya menjadi bahan penelitian buat meraka yang terlibat dalam bidang ilmu sosial .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H