(Bagian pertama dari tiga tulisan)
Bicara soal literasi di Indonesia, ada dua kabar. Kabar buruk dan baik. Fakta yang terungkap dalam studi “The Most Litterred Nation in The World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 menyatakan bahwa Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 peserta dalam hal minat membaca. Indonesia berada satu peringkat di bawah negara tetangga Asean, Thailand (59) dan di atas negara di Afrika, Botswana (61). Itu kabar buruknya.
Kabar baiknya adalah dari segi penilaian infrastruktur untuk mendukung membaca peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa dan Australia. Indonesia berada di peringkat 34 di atas Jerman, Portugal, Selandia Baru dan Korea Selatan sekalipun.
Penilaian soal infrastruktur ini seakan mengkorfirmasi berbagai inisiatif yang sudah dilakukan oleh individu, komunitas dan perusahaan yang sejak lama sudah melakukan program untuk membuat tingkat literasi masyarakat meningkat.
Sebutlah satu contoh yang dilakukan oleh Coca-Cola Foundation Indonesia yang didukung oleh Bill & Melinda Gates Foundation yang membuat PerpuSeru. Ini adalah program pengembangan perpustakaan-perpustakaan yang ada di Indonesia. Khususnya perpustakaan yang dibangun dengan basis masyarakat. Bisa taman bacaan masyarakat (TBM), perpustakaan desa, maupun perpustakaan kabupaten. Tujuannya adalah menjadikan perpustakaan sebagai belajar dan kegiatan masyarakat yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi.
Bila kita tengok lebih jauh lagi, Coca-Cola Foundation Indonesia ini sudah memulai program ini sejak tahun 2011. Bahkan kini sudah masuk ke fase kedua dengan pengembangan wilayah binaan diperluas ke 76 perpustakaan desa dan Taman Bacaan Masyarakat di 19 perpustakaan kabupaten yang menjadi mitra mereka.
Sebenarnya banyak peran strategis yang bisa dimainkan oleh perpustakaan guna membawa dampak positif bagi masyarakat. Tak hanya sebagai pusat belajar, namun juga menjadi pusat kegiatan masyarakat yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Pada akhirnya, masyarakat akan merasakan kalau kualitas hidup mereka meningkat.
Lantas apakah yang salah dengan kondisi ini? Infrastruktur sudah diatas rata-rata namun minat baca masih rendah.
Merenungkan kembali dua kabar dari dunia literasi kita ini, saya kemudian teringat nasehat ibu saya kepada cucu-cucunya yang semua masuk dalam generasi milenial. Barisan generasi yang tumbuh menjadi penduduk asli digital. Generasi yang berbeda sama sekali dengan generasi ibu saya. Sebuah nasehat yang relevan dengan kondisi paradoks dunia literasi kita.
Ada 3 ketrampilan utama yang harus dimiliki, terus dipelajari dan dikembangkan oleh para generasi baru yang sangat melek internet. Sebuah kebiasaan yang sangat fundamental yang tak pernah lekang oleh perubahan jaman. Tiga ketrampilan itu adalah : bicara, membaca, dan menulis.
Kemampuan bicara harus terus dilatih dan dikembangkan. Namun agar isi yang kita sampaikan kepada orang lain atau publik mempunyai bobot dan mutu yang tinggi, maka harus didukung dengan data atau yang valid dan akurat. Hal ini hanya bisa diperoleh melalui kebiasaan – bahkan budaya – membaca buku atau literatur. Tak cukup berhenti sampai disitu. Kedua kemampuan ini harus didukung dengan kemampuan menulis. Karena hanya dengan menulislah maka gagasan-gagasan kita akan abadi dan dikenal dunia. Bila ketiga kemampuan ini terus dilatih dan dikembangkan, maka gagasan kita pun akan mampu menggugah, menggerakkan dan mengubah.