Teknologi telah membawa perubahan yang luar biasa dalam tata laku kehidupan manusia. Cara belanja, ngobrol, bahkan belajar pun mengalami pergeseran. Kini, di sosial media bertebaran kursus-kursus yang diselenggarakan secara online. Mulai dari hal praktis, misalnya cara memasak kue bolu hingga belajar agama pun ada. Biasanya para peserta akan dikumpulkan dalam satu kelas virtual dalam grup di sosial media. Dan whatsapp adalah yang paling populer dipakai sebagai 'kelas'.
Salah satu kursus yang sudah saya ikuti adalah menulis. Dalam 7 bulan terakhir saya mengikuti 3 kursus menulis. Banyak ya? Hehehe...Selain untuk memperbaiki teknik menulis yang masih jauh dari sempurna, tujuan saya ikut kursus-kursus ini adalah mengamati dinamika interaksi sosial antar peserta. Menarik untuk diamati lebih jauh soal dinamika ini. Bagaimana respon mereka dalam mengikuti kelas, bagaimana obrolan-obrolan mereka saat 'diluar' kelas, topik apa saja yang menarik buat mereka perbincangkan.Tetapi saya tidak akan membahasnya dalam tulisan kali ini.
Yang ingin saya soroti adalah begitu banyak anak-anak muda yang berusia dibawah 25 tahun yang mengikuti kursus-kursus menulis ini. Biasanya kursus yang berbayar tak lebih dari 200 ribu rupiah. Penyelenggara kursusnya pun masih muda-muda. Semangat belajarnya luar biasa. Energi yang mereka bawa ke setiap kelas seakan tak pernah redup. Keinginan untuk bisa menulis secara baik, benar serta mampu menghadirkan rangkaian kata-kata yang mampu menyihir pembaca pun demikian tinggi.
Hampir semua kursus menulis online ini mengajak atau lebih tepatnya menantang peserta untuk menulis dan mengunggahnya di sosial media yang dimiliki peserta. Tak jarang melalui media sosial sosial pun, mereka melakukan kolaborasi penulisan. Beragam genre yang diangkat. Hari ini genre komedi, besok horor, lusa roman. Sungguh sebuah metode belajar yang mengasyikkan sekaligus menantang.
Sayangnya, saya masih melihat kalau para penulis pemula ini lebih mengedepankan perasaannya dalam tulisan-tulisannya. Sangat miskin data dan informasi pendukung yang masuk ke dalam tulisan-tulisan tersebut. Ada anggapan yang keliru di masyarakat kita bahwa data hanya diperlukan bila kita ingin menulis karya ilmiah atau tulisan non-fiksi. Sementara untuk karya fiksi hanya perlu perasaan yang berperan. Andrea Hirata, Tere Liye, Ahmad Fuadi dan penulis-penulis hebat lainnya bisa menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk melakukan riset sebelum mereka menulis novel-novel best seller-nya.
Lantas apa yang sebaiknya dilakukan oleh para calon penulis atau penulis pemula? Saya ingin berbagi 3 hal penting yang harus menjadi perhatian para calon penulis, termasuk untuk saya sendiri.Â
Pertama, lebih rajin membaca buku. Jangan puas hanya dengan membaca tulisan-tulisan pendek yang bertebaran di akun media sosial kita. Meskipun banyak juga yang isinya bermanfaat, namun sebaiknya kita ikuti dengan ekplorasi lebih jauh dengan membaca buku-buku yang lebih panjang isinya untuk memperluas wawasan kita. Bukankah tulisan yang menggugah itu hanya akan lahir dari seorang penulis yang berwawasan luas? Â
Kedua, lebih peka lingkungan sekitar kita.Kepekaan ini akan sangat membantu kita dalam memperoleh ide untuk tulisan kita. Kita bisa melakukan observasi dengan cara yang paling sederhana dan dimulai dari lingkungan terdekat kita. Apa yang kita temui, kerjakan dan alami sehari-hari bisa menjadi sumber observasi dan inspirasi yang tak ada habisnya untuk tulisan kita. Tidak harus melalui sebuah riset yang memakan waktu lama dan berbiaya mahal. Teman seorang single mom -- suaminya meninggal 15 tahun yang lalu -- baru saja menerbitkan buku pertamanya yang berisi kisah suka dan dukanya mendidik anak tanpa didampingi suami. Bukunya dia beri judul "The Power of Single Mom".
Ketiga, selalu mencari dukungan data dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Tulisan kita akan menjadi jauh lebih menarik dan berwarna dengan adanya dukungan data yang bisa kita gunakan sebagai ilustrasi dan contoh kasus yang relevan. Dewasa ini kita sangat dimudahkan dengan internet dalam mencari sumber-sumber referensi.
Menulis, seperti halnya berbicara, adalah aktivitas memproduksi. Produk terbaik hanya lahir dari proses yang baik dengan dukungan input yang baik pula. Tentu saja kita ingin tulisan kita dibaca sebanyak mungkin orang. Syukur-syukur bila tulisan kita mampu menginspirasi para pembacanya. Tulisan yang memiliki daya gugah dan daya ubah hanya tercipta dari mereka yang sadar bahwa ketiga hal di atas adalah bagian tak terpisahkan dari usaha untuk menjadi seorang penulis hebat.
Selamat belajar!