Gojek adalah sebuah fenomena. Keberadaannya mampu mengubah perilaku kita dalam menggunakan layanan transportasi. Tak seperti layanan ojek konvensional yang hanya berfungsi mengantar penumpang pergi dari dan ke suatu tempat, gojek menyediakan beragam layanan. Beli makanan, ambil dan antar barang, hingga mendatangkan jasa layanan cleaning service dan tukang pijat pun bisa. An Ojek for Every Need. Begitu bunyi taglinemereka.
Saya tak akan membahas gojek lebih jauh. Yang saya ingin sampaikan adalah bagaimana eksistensi gojek -- dan semua hal yang berbau online -- menjadi penanda berkembangnya sebuah peradaban baru dalam kehidupan manusia. Sebuah peradaban dimana teknologi informasi dan komunikasi menjadi alat sekaligus pemandu kehidupan kita. Masa yang belum pernah terjadi dalam sejarah kehidupan manusia.
Menjadi pertanyaan besar buat kita semua, bagaimana perkembangan teknologi informasi dan komunikasi ini berimplikasi pada dunia pendidikan dan pengajaran. Tak bisa dipungkiri kalau semua negara dituntut untuk beradu cepat dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi ini. Praktek-praktek pendidikan harus disesuaikan. Kurikulum harus diubah. Keahlian guru harus ditingkatkan. Dan masih banyak lagi inisiatif pendidikan yang dilakukan oleh berbagai pihak di seluruh belahan dunia. Wajah dunia 30, 50 dan 100 tahun lagi ditentukan oleh apa yang terjadi di dalam ruang-ruang kelas di sekolah-sekolah kita saat ini.
Pemerintah Indonesia pun tak mau ketinggalan. Penetapan kurikulum 2013 menggantikan kurikulum sebelumnya adalah respon terhadap tantangan era peradaban gojek ini. Terlepas dari kontroversi dan banyaknya masalah di lapangan terhadap perubahan kurikulum ini, saya melihat bahwa isi kurikulum 2013 ini paling tidak sudah mampu mengakomodir ketrampilan yang dibutuhkan anak-anak kita di era digital ini. Para ahli menyimpulkan dalam 4C, yakni communication, collaboration, critical thinking& problem solving, dan yang terakhir creativity & innovation. Pendekatan yang ada di dalam kurikulum 2013 sudah mengarah pada pembentukan 4C ini. Tak hanya sekedar transfer materi.
Bila kita berbicara masalah transfer materi maka guru masa kini dihadapkan dengan dua tantangan besar. Pertama, kurikulum yang berubah, yang menuntut perubahan cara mengajar. Tak sekedar menyampaikan isi materi pelajaran, namun harus juga memikirkan bagaimana materi ini tersampaikan secara efektif sehingga peserta didik menjadi paham. Tidak hanya what to say yang penting, namun di era informasi yang melimpah saat ini how to say menjadi lebih penting. Â Â
Kedua, anak-anak usia PAUD hingga sekolah menengah adalah generasi Y dan Z. Generasi yang lahir tahun 2000 ke atas. Mereka ini para digital natives atau penduduk asli dunia digital. Anak-anak kita sekarang memperoleh informasi dari berbagai sumber. Bahkan cenderung kebanjiran informasi. Hal ini mengakibatkan struktur otak anak-anak kita berubah. Sejak kecil mereka sangat terbiasa memperoleh informasi yang berlimpah.
Dalam sebuah tulisannya yang berjudul "Dua Generasi di Dunia Pendidikan Kita", Rhenald Kasali mengutip pendapat Garry Small. Pakar saraf dari University of California Los Angeles ini menemukan bahwa anak-anak akan menjadi superior secara kognitif bila otaknya banyak menerima input secara digital. Dengan demikian anak-anak ini akan cepat mengambil keputusan karena didukung begitu banyaknya informasi yang masuk ke dalam otaknya.
Kondisi ini mendorong struktur otak menjadi mampu berpikir multitasking. Tak jarang kan kita lihat anak-anak sekarang belajar sambil menonton film, mendengarkan musik, komen status di sosmed, dan browsing internet. Bagi mereka belajar itu harus menyenangkan. Untuk mereka belajar dan bermain bisa dilakukan bersamaan. Anak-anak sekarang akan cepat bosan bila hanya mendengarkan dan duduk manis sepanjang hari di dalam kelas. Interaksi aktif antara guru dan murid pun menjadi tuntutan. Beginilah cara anak-anak kita, generasi Y dan Z, ini belajar.
Apakah kondisi ini dipahami oleh guru dan orang tua? Saya yakin sebagian besar pendidik utama, yakni orang tua dan guru, tak paham akan perubahan psikologi anak-anak kita di era peradaban gojek ini. Masih banyak praktek-praktek pengajaran model lama terjadi di sekolah-sekolah kita. Â Sehingga kelas menjadi membosankan, murid tidak termotivasi karena guru tidak mampu menginspirasi. Alhasil potensi anak tidak bisa berkembang optimal karena lingkungan belajar di sekolah yang tidak kondusif.
Menjadi tanggung jawab siapakah ini? Masihkah kita akan meletakkan tanggung jawab pendidikan ini sepenuhnya kepada guru-guru anak kita di sekolah? Kalau anak kita belajar dan guru pun belajar, maka sudah seharusnya kita sebagai orang tua juga belajar. Kecuali kita masih mau dikatakan bahwa orang tua adalah pendidik yang paling tidak terdidik!
Selamat belajar dengan cara yang menyenangkan!