Kemeriahan bulan suci Ramadhan di negara mayoritas berpenduduk muslim sangatlah terasa. Demikian pula di Indonesia. Hampir semua masjid di kota besar hingga di pelosok desa mempersiapkan diri. Selain itu suasana Ramadhan pun terasa di rumah, sekolah, kantor, pasar dan pusat perbelanjaan. Banyak acara kajian keagamaan, buka puasa bersama hingga inisiatif sosial lainnya. Pendek kata, semua elemen masyarakat ingin memanfaatkan momen bulan suci ini untuk kepentingan mereka sesuai dengan prioritas masing-masing.
Suasana seperti di tanah air tak kami temukan selama kami tinggal di Darwin, Australia. Berbeda 180 derajat. Tak nampak sama sekali kemeriahan yang menandakan hadirnya bulan suci Ramadhan. Wajar saja hal ini terjadi karena Australia bukan negara berpenduduk mayoritas muslim. Silakan baca Catatan Ramadhan saya sebelumnya di http://www.kompasiana.com/iwan_k18/dari-kurma-california-hingga-azan-maghrib-dari-smartphone_5925b13f9593736f05a6f490.
Meskipun demikian kita akan temukan suasana yang sedikit berbeda di masjid Darwin bila dibandingkan hari-hari biasa. Selama bulan Ramadhan masjid terbesar di Darwin ini menjadi lebih ramai dari biasanya. Khususnya menjelang adzan maghrib hingga selepas shalat tarawih.
Kami sekeluarga tinggal di rumah kontrakan yang terletak persis di seberang masjid Darwin ini. Kalau di Indonesia pasti bukan hal yang terlalu istimewa bila rumah kita berada di seberang masjid. Tapi menjadi istimewa buat kami di sini, karena masjid ini adalah satu dari dua masjid yang ada di wilayah Australia utara (Northern Territory). Untuk informasi saja, wilayah Australia utara luasnya kurang lebih 1,5 kali luas pulau Kalimantan. Dari total populasi di wilayah ini yang hanya 200.000 jiwa saja, jumlah orang muslim kira-kira 1000 hingga 1500 orang.
Jadi bisa dibayangkan kalau masjid ini menjadi tempat ibadah bagi sebagian besar warga muslim yang bermukim di Darwin. Karena satu masjid yang lain masih dalam tahap pembangunan dan hanya mampu menampung 100-200 jamaah saja.
Sebagai muslim yang tinggal paling dekat dengan masjid membawa konsekuensi buat kami sekeluarga dan mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang ngekos di rumah kami. Saya dan istri memutuskan untuk menyewakan 2 kamar di rumah kontrakan kami untuk meringankan beban biaya sewa yang sangat tinggi (Australia adalah salah satu negara paling mahal di dunia). Dan biasanya mereka yang ngekos adalah mereka yang memang gemar pergi ke masjid. Kami mendapat fasilitas untuk membawa kunci pintu masjid (baik kunci gerbang maupun kunci pintu masuk). Hal ini sangat memudahkan kami, khususnya bila melaksanakan sholat subuh.
Fasilitas ini pun diiringi dengan tanggung jawab moral kami untuk menjadi yang pertama bila komite masjid atau takmir membutuhkan tenaga tambahan pada saat mereka memerlukan. Biasanya bila ada acara gathering yang melibatkan keluarga muslim dari berbagai negara, kami selalu mendapat tugas untuk membantu persiapan sekaligus membereskan semuanya setelah acara usai.
Pernah pada saat masjid mempunyai proyek pembuatan taman dan mengharuskan ada beberapa pohon yang harus ditebang pun, seorang mahasiswa Indonesia yang ngekos di rumah saya pun harus ikut membantu. Istri saya pun pernah secara rutin dengan sukarela sekali seminggu membersihkan area sholat, tempat wudhu dan toilet perempuan. Belum lagi kami harus selalu siap bila ditugaskan memotong rumput halaman/taman masjid secara reguler.
Meskipun beberapa teman Indonesia lainnya juga sering ikut bersama kami mengerjakan tugas-tugas ini, namun keberadaan kami yang tinggal paling dekat dengan masjid membawa tanggung jawab moral tersendiri. Dan kami pun mendapat julukan “James Bond” alias “Jaga Mesjid dan Tukang Kebon”!
Selamat menjalankan ibadah bulan Ramadhan!