Mohon tunggu...
iwan demank
iwan demank Mohon Tunggu... -

penuh semangat belajar dan belajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Trauma Kekerasan Masyarakat

30 Juni 2010   13:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:11 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sejarah, pada awal mulanya adalah fakta fisik maupun mental masa lalu. Dan kemudian adalah interpretasi mental serta distorsi realitas. Sehingga suatu fakta sejarah adalah realitas yang hampir selalu hiperbolis terhadap realitas, yang kadang hanya secuil waktu dalam perjalanan kehidupan. Kekerasan adlah salah satu fakta kejadian sejarah yang dapt menimbulkan trauma pada pelaku sejarah ataupun bagi insan yang mengetahuinya. Kekerasan adalah momen hitam dalam kehidupan manusia. Ada banyak kekerasan yang terdokumentasi, tapi ada pula yang tidak terdokumentasi atau terpublikasi. Dokumentasi kekerasan Indonesia adalah seperti kekerasan Amangkurat di Solo, Perang Paderi di Medan/Aceh pada masa pra kemerdekaan. Pasca kemerdekaan ada kekerasan kolektif seperti pembantaian terhadap rakyat yang diduga PKI pada 1965 dan kekerasan pada kerusuhan tahun 1998. Ketika sejarah kekerasan menjadi memori kolektif maka kemungkinan menjadi trauma kolektif sangat besar. Masyarakat memang diharapkan tidak lupa akan suatu kejadian dalam sejarah, supaya dapat mengambil pelajaran dari kejadian tersebut. Tetapi memory kekerasan adalah suatu memory yang juga berpotensi merusak semua komponen bangsa. Disisi lain memory kekerasan, bila kita bisa mengambil langkah penyelesaian dengan baik akan menjadi pelajaran berharga bagi kemajuan bangsa dan negara.
Kekerasan disebabkan adalah karena adanya perbedaan, yang kemudian dipaksakan dan akhirnya menjadi konflik atau penindasan. Kekerasan adalah komunikasi yang terputus, saat komunikasi verbal tidak bisa lagi dilakukan. Pada kekerasan terjadi pelanggaran atas hak, bisa saling menghilangkan hak, atau pemaksaan atas satu pihak terhadap pihak yang lain. Kekerasan disebabkan oleh adanya konflik baik horizontal maupun vertikal (bisa kebawah atau ke atas). Konflik horizontal adalah seperti peristiwa perang suku di Kalimantan dan Perang antar kelompok di Maluku. Sedangkan konflik vertikal seperti peristiwa Tanjung Priok 1984, Pembunuhan Aktivis tahun 1998. Konflik antar kelompok politik yang mengakibatkan pembantaian atau penindasan horizontal terjadi pada saat proses pembersihan kelompok PKI tahun 1965-1967. Kadang penyebab suatu konflik amat kompleks dan beragam serta berkaitan satu dengan yang lain
Biasanya yang jadi korban adalah pihak yang lemah, walaupun kadang pihak yang lebih kuat bisa pula menjadi korban. Kekerasan massal maupun kekerasan individual sama-sama memberikan efek yang buruk, walaupun kekerasan massal lebih berpengaruh terhadap trauma masyarakat. Kekuasaan cenderung sebagi pelaksana kekerasan yang paling fatal. Disitu terjadi pelanggaran HAM.
Saat kekerasan terjadi dan menjadi suatu fakta sejarah, maka untuk meminimalisir atau bahkan menghilangkan efek buruk diperlukan langkah-langkah yang tepat. Disinilah proses pembelajaran individu dan masyarakat diperlukan. Dan faktor pembelajaran ini yang dalam sejarah perjalanan kehidupan manusia sayangnya selalu ditumpangi kepentingan kekuasaan atau kelompok tertentu. Untuk mengatasi dan meminimalkan korban kekerasan serta mencegah terulangnya kekerasan, diperlukan langkah-langkah kongkret dari semua pihak baik yang berkaitan langsung ataupun tidak. Mungkin banyak cara dan beragam versi penanganan kekerasan. Dibawah ini adalah sebagian cara penanganan dampak kekerasan.
Langkah pertama adalah pengungkapan atas fakta kekerasan. Ketika kekerasan terjadi, baik horizontal maupun vertikal, selalu ada faktor penyebabnya. Dan biasanya faktor penyebabnya terkadang sangat komplek, dalam arti penyebab bukan semata kejadian utama, tetapi faktor penyebab yang kadang bersumber dan akumulasi dari faktor sosial politik maupun SARA. Disini mata rantai dari suatu kejadian harus ditelusuri secara komperhensif dan mendalam. Disini diperlukan pakar yang berkompeten untuk menelusuri dan menguak fakta. Dan ketika suatu fakta telah ditemukan, ada perbedaan pendapat tentang pengungkapan fakta, yang pertama adalah pengungkapan semua fakta dan yang kedua adalah pengungkapan sebagian fakta. Disini dalam era globalisasi terjadi dilema. Ketika suatu fakta diungkapkan secara menyeluruh, terkadang malah berpotensi untuk menimbulkan kekerasan baru. Disisi lain ketika fakta tersebut disembunyikan, dan publik tahu, terkadang timbul kesimpangsiuran dan bahkan pemutarbalikan fakta akibat fakta yang muncul hanya sepotong-sepotong. Karena kekerasan adalah hal sensitif bagi masyarakat, maka pihak pemegang kekuasaan (dan semuanya) harus bijaksana dalam mencari, mengolah dan mengungkapkan fakta. Serta yang lebih penting adalah tindakan atau respon terhadap fakta yang ada. Kadang disini dengan begitu rupa, fakta telah dengan sengaja dibelokkan untuk kepentingan tertentu. Disini berpotensi pula terjadi bias atau distorsi kebenaran.
Langkah kedua adalah penindakan terhadap pelaku kekerasan. Disini penegakan hukum tanpa pandang bulu diperlukan. Setiap warga negara atau manusia mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum. Prinsip ini harus dipegang oleh siapapun. Pihak pelaku atau penanggung jawab perampasan hak harus terungkap secara nyata. Harus jelas pihak yang bersalah dan bertanggung jawab. Dengan penerapan hukuman yang tidak pandang bulu. Tetapi dalam prakteknya (di Indonesia), sayangnya ketika hukum menyentuh aktor pemegang kekuasaan, jadi mandul dan tidak bertenaga. Ketika hal tersebut terjadi, maka efek dominonya bisa merambah kemana-mana. Kepercayaan terhadap hukum jadi merosot. Harus jelas siapa yang salah dan bertanggung jawab disini. Akan tetapi, saat ini, terorisme merupakan dilema bagi penegakan hukum di seluruh dunia. Organisasi terorisme, terlepas dari hal tersebut (kemungkinan) rekayasa, telah menjadi momok menakutkan yang dapat merusak tatanan hukum dan tatanan masyarakat di dunia.
Langkah ketiga adalah rehabilitasi dan rekonstruksi terhadap kekerasan. Rehabilitasi dan rekonstruksi dilaksanakan ketika proses hukum berjalan baik. Dimungkinkan adanya amnesti ataupun pengampunan terhadap pelaku kekerasan. Tetapi yang jelas, harus ada pihak yang bertanggung jawab terlebih dahulu terhadap kekerasan yang terjadi. Terkadang suatu kekerasan baik pelaku maupun korban kekerasan sebenarnya adalah korban dari suatu sistem. Anda bisa membayangkan dalam suasana perang, baik perang modern atau perang suku, pihak pelaku-pun kadang adlah korban tidak langsung suatu kekerasan. Dan hal tersebut sangat sulit, dilematis serta traumatis bagi para pelakunya. Contoh adalah stigma PKI terhadap keluarga simpatisan (atau dianggap simpatisan) PKI, yang hak-hak asasinya terampas secara kejam oleh sistem.
Langkah keempat adalah pembelajaran atau edukasi kepada masyarakat. Disini pihak kekuasaan dan jasa penyedia informasi serta lembaga pendidikan memegang peranan penting. Penanaman nilai-nilai kebenaran dan pengambilan sudut pandang masalah secara bijak harus secara berkelanjutan dilaksanakan. Kekerasan adalah suatu kesalahan sejarah, hal tersebut adalah landasan pikiran bagi setiap individu.Kita harus menyadari bahwa sejarah kekerasan tidak boleh terulang lagi. Edukasi harus benar-benar dimanfaatkan untuk menyebarkan doktrin anti kekerasan dan penjaga keadilan serta kebenaran. Bukan malah terperosok terhadap penyebaran kebencian terhadap kelompok dan lain serta mengajarkan etika pro kekerasan.
Pemecahan masalah kekerasan diharapkan menyentuh akar persoalan. Ada banyak sekali alasan atau motivasi kekerasan yang dibuat-buat, tanpa menyentuh alasan sebenarnya yang disembunyikan demi kepentingan tertentu. Pembodohan masyarakat sengaja diciptakan.
Pemanfaatan lembaga atau organisasi sebagai media komunikasi dan dialog harus dimaksimalkan. Pemahaman serta tindakan nyata dalam merespon kekerasan sangat diperlukan untuk kemajuan dan persatuan bangsa. Pendewasaan masyarakat menjadi keniscayaan dalam rangka membentuk masyarakat tanpa kekerasan. Negara yang baik, sistem hukum dan penegakan hukum yang sempurna serta aparatus yang kredibel dan kompeten diperlukan sebagai sarana kekuasaan yang mengayomi seluruh rakyat. Langkah strategis yang meminimalkan atau menghilangkan penerapan kekerasan dan efek yang dapat menimbulkan kekerasan harus terus dikaji dan dipelajari oleh semua komponen bangsa. Maka kesadaran semua pihak diharapkan dapat meluruskan kembali cita-cita kemanusiaan dan kemajuan peradaban. Cita-cita atau idealisme sebagai suatu bangsa yang beradab dan santun kita sosialisasikan dan kita sebarkan keseluruh elemen masyarakat. Seluruh manusia diharapkan kontribusi secara nyata dalam usaha perdamaian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun