Mohon tunggu...
Iwan Setiawan
Iwan Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk Indonesia

Pustakawan, dan bergiat di pendidikan nonformal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Murid Impian

26 April 2024   15:00 Diperbarui: 26 April 2024   15:07 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi gambar diunduh dari Pixabay.com

Hari masih terbilang pagi. Sinar matahari belum tepat berada di atas kepala. Namun sekelompok murid berjalan di koridor sekolah. Mereka telah diizinkan untuk pulang selepas menjalani ujian akhir sekolah. Tahapan tes pamungkas yang dijalani para siswa SMP tingkat terakhir, kelas IX.

"Bagaimana nilai saya, Pak?" tanya Fanya. Pertanyaan itu ia lontarkan tatkala melihatku berdiri di depan kelas VII. Pintu kelas yang terbuka melempangkan jalan baginya untuk meluapkan rasa ingin tahunya. Tak banyak muridku yang memiliki keingin tahuan seperti itu. Fanya adalah pengecualian.

"Bagus, seperti biasa", jawabku sekenanya. Aku belum siap menjawab pertanyaan secepat itu dari muridku. Tes mata pelajaran Bahasa Indonesia yang kuasuh baru berlangsung hari kemarin. Karenanya, hal biasa bukan bila hari ini lembar jawaban hasil kerja murid-muridku belum kuperiksa? Fanya adalah pengecualian. Tak banyak muridku yang seperti dia.

Seandainya saja sepuluh dari sebelas muridku seperti Fanya tentu aku bisa bernapas lega. Tak semestinya aku bekerja terlalu keras. Aku tak harus mempersiapkan materi ajar dengan segenap kemampuan yang ada. Aku tak mesti memeras otak menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Dan kedua indra penglihatanku pun tentu tak akan sering-sering melotot, memarahi murid-muridku yang ekstra ordinary, nakal.

Bila pun tidak sepuluh, tujuh orang saja muridku yang seperti Fanya, cukup alasan bagiku untuk selalu tersenyum. Tidak semestinya aku memasang muka bak kue martabak gosong. Meski manis namun tak enak untuk dilihat; Mukaku selalu dihiasi kerutan di dahi dan sorot mata yang setajam silet itu.

Fanya memang tak biasa. Satu hal yang tak biasa itu, Ia datang dari keluarga berada. Ayah dan ibunya masih terlihat muda. Mereka memiliki dua anak perempuan, Fanya dan dan adiknya Faiza. Saat acara sekolah diadakan, yang menyertakan kehadiran orang tua murid, ayah dan ibu Fanya senantiasa hadir. Mereka menampilkan citra sebagai keluarga idaman. Muda, tajir, enak dipandang mata.

Di kelas, Fanya selalu duduk di jajaran depan. Ia memberi perhatian penuh pada  guru yang datang mengajar. Tak sebatas menerima materi, ia cekatan memberi tanggapan saat guru bertanya. Kemampuan berpikirnya di atas rata-rata. Daya tangkapnya terhadap pelajaran setali tiga uang, sama baiknya. Sikapnya demikian manis.

Hal tak biasa yang nomor dua, Fanya pintar bermain musik. Alat musik pilihannya biola. Kemampuan ia bermain sudah jamak diketahui. Setiap murid, guru, atau siapa saja penghuni gedung sekolah gemar melihat aksinya. Aku teringat suatu waktu, kala diadakan panggung  acara pentas seni, seluruh perhatian tertuju pada siswi semampai berkulit putih itu. Melihat aksinya menggesek dawai biola seakan melihat aksi grup girl band manggung. 

"Waah, Fanya main biola!" bisik Ustad Zul.

"Iya Ustad, dia anisa al jamilah (wanita cantik)!" jawabku

"Bapak guru terlalu memuji" jawab Ustad Zul.

"Tapi Ustad setuju bukan?" candaku.

Ustad Zul tidak menjawab. Perhatiannya terfokus ke atas panggung. Ia begitu menikmati lengkingan suara gitar melodi dari grup para siswa itu. Terlebih saat terdengar suara biola yang digesek Fanya. Meski ia sembunyikan, Ustad Zul masih terlihat sebagai satu diantara fans.

Hal tak biasa nomor tiga, Fanya murid serba bisa. Seolah-olah tak ada satu hal pun yang tidak bisa ia lakukan. Rajin belajar, pandai bermain musik, dan berlatar keluarga bahagia. Pendeknya, Fanya adalah paket lengkap. Peribahasa "Tak ada gading yang tak retak" seakan tak berlaku baginya. Sulit melihat retakan gading dari siswi itu. Fanya adalah pengecualian.

oOo

Semarak suasana gembira tergambar pagi itu. Murid-murid berbaris rapi di halaman sekolah. Murid perempuan mengenakan kain dan baju kebaya.  Murid laki-laki mengenakan setelan jas, lengkap dengan dasi beraneka warna. Toga dan topi berpita melengkapi busana. Mereka berdandan dengan sempurna. Terlihat cantik dan tampan di masa-masa awal usia remaja.

Dengan langkah yang teratur mereka berjalan memasuki pintu aula sekolah. Satu demi satu menuju kursi yang telah disediakan. Mereka duduk dengan tertib, dengan sungging senyuman yang tak pernah lepas. Tak berapa lama, pembawa acara naik ke panggung dan membuka acara.

"Prosesi wisuda siswa dan siswi "SMP Biduk Keselamatan", angkatan ke XIV, tahun pelajaran 2023/2024 dimulai," kata Pak Agus Nero, sang pembawa acara. Suaranya berwibawa, menggema di ruang aula. Para hadirin terbawa suasana. Dengan khusyu mengikuti rangkaian acara.

Satu demi satu nama siswa, yang duduk dengan tertib itu, kemudian disebut. Mereka bergantian melangkah ke panggung kehormatan. Di hadapan pimpinan sekolah, mereka menerima sebuah map, dan di hadapan kepala sekolah mencondongkan kepala. Sesaat kemudian ibu kepala sekolah memindahkan tali pita yang melambai di topi wisuda yang dikenakan. Senyum bahagia mereka pun merekah. Mereka telah menamatkan pendidikan lanjutan tingkat pertama.

Kembali terdengan suara menggema. Pembawa acara meminta perhatian segenap hadirin.

"Bapak dan ibu pimpinan sekolah yang kami hormati. Bapak dan ibu orang tua murid yang berbahagia. Anak-anak alumni yang kami sayangi, kita sambut wisudawati peraih nilai tertinggi tahun ini, Fanya Eka Pustpitasari ."

Suasasna syahdu seketika tercipta. Keheningan  menyelimuti seisi ruangan. Seorang bapak melangkah menuju panggung. Langkahnya tegap, meski tak kuasa menyembunyikan kesedihan yang membayang di wajahnya.

"Selamat, ya Pak. Fanya adalah inspirasi bagi kami," terdengan lembut suara ibu kepala.

"Terima kasih banyak, bu!"

Bapak yang bersedih itu kembali melangkah menuju kursinya. Tangannya menggenggam map berisi ijazah dan piagam sang putri. "Fanya, tak pernah ayah tak merasa bangga padamu", gumamnya, seraya mengusap mata.

Sementara aku, ustad Zul, dan segenap guru terpaku di kursi masing-masing. Dalam hati mengirim sebait doa tulus untuk sang murid teladan, yang kini telah kembali ke pangkuannya. Seminggu yang lalu, ia pulang kepada Sang Pencipta karena sakit. Orang baik pulang lebih dulu, ungkapan ini yang paling tepat menyuarakan getar hati kami.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun