Semarak hari raya terasa kurang bermakna bila tak disertai ritual mudik. Hal ini dipahami benar oleh Tari, istriku. Â Jauh-jauh hari, ia mengutarakan keinginan berlebaran di tempat ibu. Pun begitu dengan permintaan Murte dan Zainab. Hati keduanya seperti telah tersandera oleh keinginan berlebaran di rumah nenek mereka.
"Sudah, kita pakai "si belalang" biar hemat ongkos" kata Tari. Sore itu, menjelang buka puasa ia kembali menyinggung soal pulang kampung. Ia rela bila pun harus nyemplak, duduk hampir lima jam di jok motor demi agar keinginan mudik terkabul. Dua kakak-beradik putra kami biasa pergi seminggu lebih awal naik bus.
"Tidak gampang lho mam, pulang ke Bogor pakai motor. Cuaca hari-hari ini sedang tak karuan. Hujan hampir tiap hari turun. Menderita kita bila mesti naik motor sambil basah kuyup".
"Ah, Papa kenapa jadi cemen begini? Dulu waktu pacaran, hampir tiap minggu datang ke rumah. Apa dulu pakai Honda Brio? Perasaan, dulu juga yaa si belalang itu yang papa tunggangi"
"Hus, mama ngarang. Dulu yang Papa pakai motor Haley David Sianturi lho".
Tari pintar membujuk. Rasa-rasanya, hampir tak ada permintaan dia yang tak aku luluskan. Mungkin kesehariannya aktif di PKK RW membuatnya pandai berkomunikasi. Ia pandai mempersuasi orang hingga menuruti apa yang ia mau.
Rumah ibu mertuaku tak banyak berubah. Berpagar tembok dengan pilar-pilar yang kokoh. Pohon rambutan tua tampak tegar berdiri. Dari tubuh pohon ini banyak bermunculan cabang dan daun yang baru. Aa Ridwan, kakak iparku, rajin menebas batang-batang tua yang sudah tak produktif. Aa mewarisi ketelatenan dslam merawat rumah dari mendiang kakek.
Dahulu di bawah pohon rambutan ini keriangan suasana pesta bergaung. Kakek menikahkan Tari denganku. Ia tampak begitu bahagia. Tak henti ia tersenyum. Tak terbilang ia menyawer biduan orkes organ tunggal yang menghibur para tamu. Ketika itu Kakek belum lama pensiun dari dinas ketentaraan. Teman-teman kakek tumplek menghadiri perkawinan kami.
Aku dan Tari menjadikan tempat di bawah pohon ini sebagai sudut pavorit. Kami kerap duduk berdua di sana. Melewati sore yang berkelebat demikian cepat. Menuju senja yang sekaligus sebagai batas waktu kunjunganku. Aku mesti bergegas, kembali ke Bandung saat senja. Bila tidak, Kakek tak beranjak dari kursinya mengawasi kami. Kakek bak kamera CCTV yang siaga sepanjang waktu mengawasi cucu kesayangannya, Tari.
Sampai kini sudut itu masih dan akan selau jadi tempat pavorit. Aku dan Tari mengenang saat saat indah dulu. Saat aku menyambanginya di akhir pekan.