Menyebut kota Bandung, aku selalu teringat tulisan mural di pusat kota. Tak jauh dari Gedung Merdeka, tertulis petikan kata dari seorang penulis, M.A.W. Brouwer. "Tatar Pasundan tercipta di kala Tuhan sedang tersenyum", kata sang penulis. Â Makna kalimat itu lebih indah kurasakan. Tahukah kawan mengapa? Karena aku bersama Lestari, saat membacanya untuk pertama kali. Â
Bandung juga kota sejuta kenangan. Tempat yang jengkal demi jengkal tanahnya pernah kami lalui. Aku dan Lestari kerap menggelinding di atas kendaraan kantor. Aku duduk mengemudi dan ia berada di sampingku, membuka-buka catatan kecil penjualan buku. Kami berkeliling menyambangi tempat-tempat di mana produk perusahaan dipasarkan.
Aku mengantar Tari ke toko buku Graha Media di gerai pusatnya yang terletak dekat alun-alun. Selain di sana, cabang-cabang toko buku raksasa itu di pinggir kota juga kami datangi. Aku hapal bagaimana cara Tari memintaku mengarahkan kendaraan. Ia berkeras memintaku menuruti jalur yang ia kehendaki. Padahal sebagai sopir aku tahu betul arah jalan yang lebih dekat. Ia sedikit keras kepala. Namun justru itu yang kusuka darinya.
Toko-toko kecil di pasar buku Palasari juga tak luput kami sambangi. Tari dengan gerakan energik khas seorang tenaga pemasar lincah melangkah dari satu kios ke kios lain. Tak jarang ia diisengi abang-abang pedagang. Mereka tak segan menggodanya. Dengan bermodus urusan bisnis, mereka meminta nomor teleponnya. Satu hal yang membuat hatiku dibakar cemburu.
Apalagi bila kami sampai di kios Andalas, yang tak pernah sepi pengunjung. Lelaki berbadan tambun dan berkulit gelap di sana suka over acting bila melihat Lestari. Ia pemilik lapak buku, pintar menggombal dan ahli mengulur waktu bila berhadapan dengan Lestari. Tanpa mampu kutahan hati menghardik, "Rayuanmu gombal, gendut!"
Untung aku masih waras. Tak sampai meluncur kata-kata itu dari mulutku. Juga saat ia dengan seenak udelnya menyuruhku mengangkat-angkat dus berisi buku. Terkesan ia ingin mengerjaiku.  Mungkin karena aku lebih muda dan parasku lebih menarik darinya. Ia sepertinya ingin terlihat lebih berwibawa di depan Lestari, dengan mengarahkan  jari jemarinya kepadaku.
***
Bukan saja kota kenangan, Bandung juga adalah kota harapan. Keinginan untuk meraih penghidupan yang layak kugantungkan di sini. Selepas SMA aku hijrah dari pelosok desa. Aku meninggalkan kampung Cibeuti, di Tasikmalaya sana. Aku numpang, tinggal di rumah kakak yang telah lama bermukim di sini.
Suami kakak seorang dosen dan penulis. Banyak buku yang telah ia hasilkan. Aku tak ingin mengurai buku-buku yang ia tulis. Di antara buku-bukunya ada yang diterbitkan oleh penerbit yang kini menjadi tempat kerjaku. Atas dasar pertimbangan simbiosis mutualisme, penerbit sepertinya melihat keuntungan dengan mempekerjakanku. Aku diterima bekerja.
Dengan menjadikan aku bagian dari perusahaan, penerbit buku ini seperti ingin "mengikat" kakak iparku. Mereka memagari kakak ipar agar tidak loncat, Â menyerahkan naskah tulisannya untuk diterbitkan penerbit lain. Boleh-boleh saja strategi ini mereka lakukan. Di dunia ini, mana ada urusan yang terbebas dari konflik kepentingan?