Sejak bapak tidak lagi berdinas di kesatuan Armed rumah ini kami tempati. Bapak tak tahan mendengar selentingan orang di tempatnya bekerja. Selentingan yang menyoroti kami, yang masih menempati rumah dinas.
Pada kenyataannya banyak rumah di seputar asrama yang kami tinggali masih dihuni orang orang lama. Para keluarga tentara yang tidak lagi berdinas di kesatuan Armed sebagaimana seharusnya.
Bapak orang yang tak enakan hati. Bapak berperasaan angin, kata peribahasa. Hatinya mudah sekali tersentuh. Apalagi bila berkaitan dengan pelanggaran aturan. Sekecil apa pun, bapak tak ingin melibatkan diri terlibat di dalamnya.
Kami datang terlalu cepat di sini. Rumah yang kami tempati  baru setengah jadi. Bapak mempersiapkan rumah ini sejak lama. Ia menyisihkan penghasilannya sebagai prajurit berpangkat sersan untuk mewujudkan cita-cita memiliki rumah ini.
Rumah yang baru ini cukup luas. Di dalamnya ada dua kamar. Kamar mandi di tempatkan paling belakang. Bersebelahan dengan ruang dapur. Dari jendela dapur kami dapat melihat bangunan panjang yang berupa rumah kontrakan.
Di kontrakan ini tinggal para pendatang. Kebanyakan mereka berasal dari propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur,Yogya, dan Madura. Entah bagaimana ceritanya. Dalam satu bangunan bisa rerdapat wakil-wakil dari propinsi yang berbeda. Mungkin pemilik kontrakan ingin mewujudkan slogan dari iklan apparel dari luar sana, "united color of benetton".
Di rumah kami tinggal seorang keponakan bapak. Kami memanggilnya Mang Aan. Ia anak dari sepupu bapak dari Garut. Ia mencoba peruntungan mencari pekerjaan di Bogor, tempat kami bermukim. Mang Aan berbagi tempat tidur bersama A Dadang di ruang tamu. Aku dan Dik Leni menempati kamar depan. Sedang bapak menemani mamah di kamar belakang.
Rumah kontrakan yang bersebelahan dengan rumah kami itu ditempati Yu Narsih yang berasal dari Gringsing, Jawa Tengah. Ia seorang wanita muda yang cukup ayu. Badannya sintal dan berkulit putih. Kami memanggilnya Yu Nar. Ia berjualan jamu gendong keliling kampung.
Yu Nar setiap hari menyambangi rumah kami dan rumah-rumah yang lain. Mamah biasa menenggak jamu racikannya. Jamu yang dituang dalam gelas kecil. Diberi telor ayam mentah dan madu. Warnanya kecoklatan dan rasanya pahit. Mamah selalu memejamkan mata saat menenggaknya. Setelah jamu habis, gelasnya dituangi air gula berwarna coklat. Mamah suka menyisakan setengahnya untuk aku minum. Rasanya manis dan beraroma kencur.
Di kontrakan itu juga ada beberapa pemuda yang mencari nafkah dengan jualan baso. Satu diantaranya kami panggil Mas Narto. Ia pemuda baik hati dan agak pendiam. Tiap hari berkeliling mendorong gerobak. Basonya lezat, harum dan kenyal. Di pagi hari aroma rempah dan daging bercampur masuk ke jendela dapur kami. Wangi yang mengundang selera.