Dikisahkan seorang pemuda, Arul namanya. Ia pergi mengembara mengendarai sepeda motornya dengan tanpa tujuan pasti. Ke mana kata hati mengarahkan, ke sana ia membawa motornya. Nasihat ibu selalu terngiang di telinganya, "Saat Kau bingung mencari tempat berteduh, datanglah ke mesjid. Rumah Allah itu selalu akan menyambutmu".
Jauh sudah pemuda Arul menggelinding di jalan. Banyak kota dan desa ia lalui. Â Satu demi satu tempat bernaung ia datangi. Mesjid-mesjid ia singgahi. Sekadar tuk ikut melemaskan otot selepas berkendara. Meluruskan punggung setelah seharian terduduk di jok motor.
Malang baginya. Saat malam telah larut, semua tempat yang ia datangi menutup pintu rapat-rapat. Juga masjid, yang kata ibu selalu membuka pintu baginya. Arul kecewa sampai pada akhirnya ia menemukan sebuah mushola desa yang reyot, Musola Baiturohman. Mushola yang atapnya hanya menunggu waktu untuk roboh.
Sang pemuda memasuki pintu mushola yang tak terkunci. Sepi menyergap dirinya. Tak seorang pun ia jumpai. Akhirnya ia terlelap di samping mimbar sampai Tarban, sang marbot mushola, membangunkannya pada waktu subuh.
Keadaan mushola begitu buruk. Atap yang menaunginya telah bocor di mana-mana. Genting-genting telah pecah. Kayu penyangganya telah lapuk dimakan usia. Bila hujan turun, air menggenang di setiap sudut. Warga gelisah. Mereka bertekad memperbaiki atap, dengan berbagai cara.
Selepas shalat Isya, warga desa berkumpul di mushola. Membincangkan atap bangunan tua itu yang dapat runtuh sewaktu-waktu. Darsan memberi saran agar meminta sumbangan dengan cara menjaring rupiah di pinggir jalan. Usulannya ditolak mentah-mentah oleh Kyai Buchori, imam shalat yang dihormati. "Sabar menabung lebih baik dari meminta-minta sumbangan", kata kyai.
Warga semakin resah. Keinginan mereka memperbaiki rumah Tuhan, sebagai amal yang dapat menaungi kelak di Padang Mahsyar, menemui jalan buntu. Namun, mereka tak ingin melawan. Apa kata pak kyai, itu pula yang mereka lakukan. Sami'na wa atho'na. Kami dengar dan kami laksanakan, begitu adab mereka terhadap kyai.
Akhirnya, warga menggalang dana dengan caranya sendiri. Idris yang berjualan bubur menyumbangkan dua atau tiga mangkuk dagangannya sehari untuk disumbangkan. Begitu pula dengan Ihsan yang setiap hari keliling kampung sebagai tukang cukur. Ia berwakaf waktu selepas waktu Ashar sampai Maghrib, mencukur yang hasilnya untuk disumbangkan menjadi atap mushola. Warga-warga yang lain melakukannya sesuai kesanggupan. Mereka bahu-membahu menabung amal sebagai bekal yang akan menaungi kelak di Padang Mahsyar.
Hari demi hari mereka menabung. Bulan pun berganti. Tabungan di kotak sedekah dirasa cukup untuk mengganti atap mushola. Warga pun kembali berembuk di ruang mushola yang lembap. Di tengah riungan, Kyai Buchori melontarkan ide untuk menunda rencana yang telah dipersiapkan jauh-jauh hari tersebut.
Sebagai gantinya, Kyai Buchori mengajak warga untuk mengalihkan uang dalam kotak sedekah itu untuk dibelanjakan bahan makanan. Selanjutnya dibagikan kepada warga desa yang menderita kesulitan. Karena beban hidup yang demikian berat, kejahatan meningkat. Maling berkeliaran hampir setiap malam. Banyak warga yang rumahnya disatroni sang pencoleng. Usulan Kyai Buchori membuat suasana kembali panas. Warga menolak walau pada akhirnya menyetujui. Sami'na wa atho'na.