Paman dan tante Hana berjualan mie dan nasi goreng. Warung mereka, yang buka di sore hari, tak pernah sepi. Pembeli datang dan pergi dari warung mereka. Hana sesekali terlihat membantu melayani para tamu.
Rumah orang tuaku tak jauh dari warung mie mereka. Ayah begitu menyukai menu mie goreng nyemek di sana. Ia selalu meminta aku membelikan makanan itu. Hana yang selalu kujumpai di sana. Gadis ini dengan terampil melayani setiap pembeli. Karena kerap bertemu, aku tak bisa melupakannya. Hana selalu terbayang di mata.
Waktu itu aku berkuliah tingkat awal di kampus UPI. Saat itu namanya masih IKIP. Sedangkan Hana masih kelas dua atau tiga Sekolah Lanjutan Atas. Aku memberanikan diri mengungkap rasa suka pada Hana. Mungkin sebatas hubungan cinta yang dikenal sebagai cinta monyet. Ungkapan hatiku berjawab. Hana menyambut cintaku.
"Ini Dik buat di jalan"
" Buah apel dan jeruk ini jadi penawar bila adik merasa mual" Â
"iya Kak, terima kasih"
Hana meraih kantong plastik berisi buah yang kusodorkan. Dimasukannya ke dalam saku tas ransel yang melekat di punggungnya. Ia bergegas ke loket pemeriksaan tiket. Memastikan bila ia telah datang. Bis bertolak tak lama lagi. Kami duduk di bangku kayu panjang di ruang tunggu.
"Adik jadi berkuliah di Bandung?"
"Semua tergantung apa kata Amang, Kak"
Hana mematut jaket yang dikenakannya. Ia menaikan risletingnya sebatas dada, kemudian memeriksa tas besar di sampingnya. Beberapa menit lagi bis akan berangkat. Suara nyaring terngiang dari pengeras suara.
Sebelum memasuki pintu bis, Hana menoleh ke arahku. Ia berjanji akan selalu berkirim surat. Bertukar kabar denganku. Aku mengiyakan dan menatapnya memasuki bis. Ia melambaikan tangan di kaca jendela. Samar terlihat wajahnya yang ayu. Mata bulatnya tak mungkin hilang dari ingatan.