Ini adalah sebuah novel lama yang berasal dari negeri Tirai Bambu (Tiongkok). Meskipun sudah naik cetak sekitar 10 tahun yang lalu. Novel ini merupakan sebuah inspirasi bagi saya, sebuah novel tentang perjuangan seorang anak yang berasal dari pelosok Tiongkok. Saya masih ingat, setelah membaca buku ini beberapa puluh halaman. Saya sempat merenung"Oh ini ya alasan negeri Tiongkok sekarang ini menjadi negara Adidaya menyaingi Amerika Serikat, perjuangan hidup dan prinsip hidup anak-anak Tiongkok dalam mengerjar pendidikan mereka sangat kuat dan keras dan juga di negara sekonservatif negara Tiongkok masih ada pemikiran orangtua yang berusaha menyekolahkan anak perempuan."
Apakah kemiskinan merupakan sebuah warisan ataukah keturunan? Pertanyaan itu yang mungkin selalu membayangi kehidupan dari keluarga Ma Yan. Bersama ibu, ayah, dan adik-adiknya ia tinggal di Desa Zhangjiashu, sebuah pedalaman yang kering kerontang. Kehidupannya jauh dari kata berkecukupan, pendapatan orangtuanya jelas tak mencukupi kebutuhan pokok keluarganya. Ayahnya hanyalah seorang buruh serabutan, sedang ibunya bercocok tanam di ladang yang hasil panennya tak pernah memuaskan. Ditambah dengan faktor musim kemarau yang tak berkesudahan.
Novel berjudul Ma Yan ini merupakan novel biografi yang diceritakan dengan sudut pandang orang pertama melalui 'kacamata' Bai Juhua --ibu Ma Yan, dan Ma Yan sendiri. Ma Yan digambarkan sebagai seorang gadis yang memilliki semangat juang tinggi dan tak pernah mau menyerah. Sedang ibunya, digambarkan dengan sesesok ibu yang akan mengusahakan apapun agar anak-anaknya dapat hidup layak. Tema utama dari novel ini sendiri lebih kepada diskriminasi gender yang kemudian permasalahan mengenai pendidikan merupakan isu utama dalam novel ini.
Dalam budaya Asia pada umumnya, budaya patriarki sangat kuat di negeri Tiongkok yang mana anak perempuan tidak harus menikmati pendidikan sekolah. Dalam novel tersebut dikatakan bahwa perempuan dianggap tidak memerlukan pendidikan. Pintu keluar dari segala persoalan perempuan adalah sebuah perkawinan. Dan perempuan agaknya harus senantiasa patuh, meski kepatuhan itu menempatkan dirinya pada hak-hak yang tereliminasi. Anak perempuan dianggap lebih pantas bekerja di ladang ketimbang bersekolah dikarenakan tradisi di sana menganggap bahwa sekolah bagi anak perempuan hanya suatu kesia-siaan belaka sebab yang akan menikmati hasil dari kesuksesan sang anak itu tadi bukanlah orangtuanya, melainkan suaminya. Tetapi berbeda dengan Ma Yan dan kedua adiknya. Orangtua mereka memberikan mereka sekolah walaupun harus menempuh perjalanan 20 berkilometer dengan berjalan kaki dan melewati beberapa pegunungan. Â Sebenarnya ada pilihan lain yang bisa pilih oleh Ma Yan dan kedua adik-adiknya untuk pergi ke sekolah yaitu dengan menumpang traktor. Tapi, biaya sewa traktor adalah setengah dari biaya hidup sebulan untuk keluarga Ma Yan. Saat itu orangtua Ma Yan mengambil sebuah solusi adalah dengan menginapkan Ma Yan dan kedua adiknya di asrama sekolah. Tetapi, biaya sewa kamar dan biaya makan tentu tak gratis, ada harga yang harus dibayar.
Ma Yan harus berhemat sehemat mungkin untuk mengganti biaya sewa kamar dan makan selama tinggal di asrama sekolah. Pernah suatu hari, Ma Yan diajak seorang temanya untuk membeli alat tulis di pasar. Ia melihat sebuah bolpoin, dan ia jatuh cinta dengan bolpoin itu. Rasa ingin memiliki muncul di dalam dirinya, sangat disayangkan harga satu bolpoin sangat mahal, sama dengan harga jatah lima belas hari uang makannya. Disinilah rasa tekad dalam diri Ma Yan muncul, demi mendaptkan sebuah bolpoin ia harus berhemat, ia hanya makan nasi tanpa sayur dan lauk. Terkadang, sangking sudah bosan ia terhadap nasi tanpa sayur, ia memilih untuk tak makan, dan lebih memilih untuk meneguk teh hangat manis setiap hari. Tekad yang kuat untuk mendapatkan bolpoin yang ia inginkan, setelah perjuangan selama lima belas hari, akhirnya bolpoin berhasil dibeli oleh Ma Yan. Dengan bolpoin tersebut, ia banyak menulis tentang orangtuanya, teman-temannya, dan rasa cinta Ma Yan terhadap sekolahnya.
Pernah suatu kali, Ma Yan gagal mendapatkan hasil nilai belajar yang buruk di sekolah. Ia merasa malu pada diri sendiri dan pada ayah dan ibunya. Ia yang sebelumnya bersikeras ingin tetap bersekolah, justru malah memberi hasil yang tidak membanggakan kepada kedua orangtuanya. Ma Yan berapa puluh kali menulis kata maaf dalam tulis-tulisanya untuk mengucapkan kata maaf kepada kedua orangtuanya atas hasil yang ia dapatkan. Tak sampai disitu saja, setelah kejadian mendapatkan hasil belajar yang kurang bagus. Demi mendaptkan uang biaya asrama dan kehidupan sehari-hari Ma Yan, ibunya harus rela bekerja memanen tanaman fa cai di tebing-tebing curam dan bapaknya harus pergi ke kota untuk mencari pekerjaan karena pada saat itu musim hujan semua kentang yang biasa mereka tanam hanyut terbawa arus. Dengan perjuangan orangtuanya menyekolahkannya, ia sangat malu terhadap apa yang selama ini ia perjuangkan untuk ingin tetap bersekolah.
Setelah merasakan perjuangan orangtua membiayai sekolahnya dan kegagala sebelumnya, di tahun berikutnya ia menempati peringkat kedua di dalam kelas. Sebuah hasil perjuangan yang ia dapat banggakan untuk perjuangan Ayah dan Ibunya di kampung. Hasil yang dapat ia bandingkan dengan seperti apa dan bagaimana ia menginginkan sekolah, meski dalam tradisi tak mengharuskan perempuan menikmati bangku sekolah. Karena itu moment yang menajubkan untuknya, maka ia menulis dalam bukunya, tentunya dengan bolpoin kebanggannya. Dalam novel ini ada satu kutipan yang saya masih ingat :
Aku begitu terharu. Bahkan aku tak sanggup menemukan kata-kata yang tepat untuk melukiskan perasaanku. Belum pernah kumiliki moment membahagiakan seperti ini. Pastinya takkan pernah kulupakan.
Novel ini ditutup dengan ending dimana tulisan-tulisan Ma Yan yang tertulis di buku catatan, oleh ibunya yang buta huruf, diberikan kepada rombongan orang asing yang berkunjung ke daerah mereka. Pemberian buku tersebut tanpa diketahui oleh Ma Yan sendiri. Si ibu hanya berharap, orang asing tersebut akan membaca tulisan-tulisan Ma Yan. Dan ibu juga berharap, bahwa suatu ketika nanti, orang-orang asing tersebut akan datang lagi ke daerah mereka dan mencari tahu. Bahwa di tempat terpencil tersebut terdapat seoarang anak perempuan yang cerdas.
 Kekurangan
Setelah membaca novel ini, ada beberapa kata yang sulit di mengerti seperti " termarginalisasi " untuk memahaminaya saya harus mencari artinya di google terlebih dahulu. Kemudian dari alur cerita di dalam novel Ma Yan agak sedikit membosankan karena menggunakan alur maju-mundur dan cerita yang ditulis oleh penulis terlalu panjang. Sedangkan bagian ending dari cerita novel ini menurut saya tidak sesuai harapan karena harapan dari pembaca tidak endinya tidak sesuai dan tidak ada sebuah kesimpulan tentang bagaimana nasib Ma Yan setelah ia melalui semua proses kehidupan dari kecil sampai besar. Ia akan menjadi seorang wanita sukses atau pemimpin bangsa.Â
Kelebihan
Dari awal cerita sampai berakhir banyak sekali nilai-nilai kehidupan yang bisa didapatkan mulai dari perjuangan kedua orangtua dan Ma Yan. Selainn itu juga melalui cerita di dalam novel sebagai pembaca saya mengetahui keadaan sosial budaya negara Tiongkok. Selain itu menurut saya penggunaan bahasa di dalam novel ini dapat dimengerti oleh anak-anak sampai pemuda.