Tidak bisa dipungkiri pada masa lalu, Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah salah satu partai besar yang ada di Indonesia. Setiap daerah mempunyai anak cabang PKI. Salah satu cabang PKI terdapat  di Pulau Nias. Tapi, sampai saat ini banyak masyarakat Nias tidak mengetahui tentang keberadaan cabang PKI di Nias pada masa lalu. Mereka juga tidak tahu tentang nasib para anggota atau partisipan PKI setelah meletus peristiwa G30S/PKI di Jakarta. Â
Salah satu alasan masyarakat Nias sekarang ini tidak pernah mengetahui dampak dari peristiwa G30S/PKI,  para orangtua mereka tidak pernah menceritakan peristiwa ini kepada anak-anaknya, dan dalam setiap obrolan, baik di warung-warung, kalangan akademisi, atau keluarga besar, tidak pernah sama sekali ada cerita tentang PKI. Sampai akhirnya saya bertemu dengan  seorang laki-laki tua yang berusia 73 tahun.
Perjumpaan saya dengan seorang laki-laki tua yang berusia 73 tahun secara tidak disengaja. Pagi itu, saya mengantar seseorang di dusun Hilimbw. Sebuah dusun yang terletak sekitar 10 km dari pusat Kota Gunungsitoli.
Meskipun Kota Gunungsitoli sudah 10 tahun menjadi kotamadya, tapi di dusun yang termasuk dalam wilayah pemerintahan Kota Gunungsitoli masih jauh dari kata "Maju".
Keadaan jalan di dusun ini masih banyak yang berlubang dan kerikil-kerikil yang berserakan di mana-mana. Untuk sampai ke dusun ini, saya harus melewati sebuah jembatan yang beralas papan dan balok yang sudah mulai rapuh.
Supaya tidak terjadi kecelakaan, saya menyarankan teman saya untuk berjalan kaki. Setiap hari ada sekitar  5-8 mobil melewati jembatan yang mulai rapuh ini untuk mengambil karet dan hasil bumi lainnya atau mengantar barang-barang. Â
Saya memarkirkan motor di depan rumah tujuan. Saya menunggu teman di depan teras rumah. Tak berselang sekitar 10 menit seorang pria tua menghampiri saya. Menjulurkan tangan. Kami bersalaman. Kemudian bertanya, "Kamu anak Ama Harapan?" Dengan wajah agak sedikit terkejut, karena saya tidak mengenal laki-laki tua itu, tapi ia kenal dengan bapak saya, saya mengatakan, "Ia saya anak Ama Harapan?"
Lalu, laki-laki tua itu dengan wajah ceria mengatakan, "Kita saudara, saya Ama Dedi".
Setelah itu kami cerita panjang lebar. Ia banyak menceritakan kepada saya tentang perjalanan hidupnya. Semasa muda, ia menjadi supir mobil. Ia menceritakan kepada saya ketika ia baru-baru menikah pada tahun 1963. Seperti, kebanyakan pasangan yang baru saja menikah di Nias, karena bw (biaya pernikahan) yang cukup besar. Mereka banyak berutang.
Sebelum terjadi peristiwa G30S/PKI, keadaan perekonomian keluarga kecil Ama Dedi cukup stabil. Namun seiring waktu peristiwa G30S/PKI meletus di Jakarta, keadaan Gunungsitoli dan Nias mulai tidak stabil, termasuk perekonomiannyanya Ama Dedi. Karena rasa penasaran saya tentang keadaan Partai PKI di Nias saat itu, saya menanyakan kepadanya secara lebih mendetail. Â
Ia menceritakan para anggota dan  partisipan PKI selalu bertemu dan berdiskusi di warung-warung. Salah satu tempat yang sering didatangi para anggota PKI adalah Simpang Faekhu. Tempat ini sangat strategis karena berada di perempatan. Masyarakat yang berasal dari Nias Barat, Madula, desa Llmboli sebelum pergi ke pasar di Gunungsitoli sering berhenti di tempat ini.