"Buar saya dek, cara bisa bertahan  menjual martabak selama 25 tahun adalah saya tidak menjual satu loyang martabak dengan tinggi harga satu loyang martabak, tapi saya mendapatkan untung dari jumlah banyak loyang martabak yang terjual,Untuk apa harga tinggi, tapi tidak terjual banyak" ujar bapak penjual martabak."
Tadi pagi, setelah aku mengantar seseorang di Bandara Binaka, Nias. Aku menyempatkan diri untuk membeli martabak, makanan kesukaan bapak di pasar tradisional Foa, Gunungsitoli Idanoi. Beberapa dengan keadaan pasar pada umumnya. Pasar tradisional di Nias hanya diadakan seminggu sekali pada pagi hari sampai siang. Pasar tradisiona l atau dalam bah. Nias "Harimbale" menjual berbagai kebutuhan pokok, obat-obatan, dll. Di pasar ini semua masyarakat berbaur di dalam. Para petani karet dan sayur-sayuran menjual hasil kebunnya di pasar tradisional, kemudian membeli kembali kebutuhan.
Bukan seperti standar pasar pada umumnya, pasar tradisional di Nias hanya beralas papan atau langsung tanah yang diletakkan tenda-tenda bekas dan masalah ukuran jangan ditanya lagi. Sangat jauh dari standar sebuah toko. Ukuran satu buah toko hanya sekitar setengah meter.
Baiklah mungkin di cerita selanjutnya, aku akan menceritakan tentang pasar tradisional yang ada di Nias untuk versi panjangnya. Â Kembali ke cerita awal aku tentang bapak tua penjual martabak.
Setelah memarkir motor, aku sempat bingung tempat yang menjual martabak. Sepintas di depan saya memarkir motor yang ada hanya ibu-ibu penjual sayur dan disamping tempat jualan  sayur. Seorang pria yang mempunyai hidung mancung mirip orang Arab dengan pengeras suara. Ia sibuk menawarkan obat-obat tradisional kepada setiap pengunjung. Hampir 5 menit, aku melihat di sekelilingku dan sama sekali tidak menemukan penjual martabak. Dalam hatiku sempat berkata "Wah seandainya aku tidak dapat martabak, bisa-bisa bapak di rumah sedikit marah, kan martabak makanan kesukaan bapak."
Tak berselang satu menit kemudian, dari kejauhan aku melihat sepintas penjual martabak. Jangan pernah terbayangkan tempat jualan martabak di pasar tradisional ada sebuah tulisan reklame " Martabak enak dan makyus" atau gambar seorang artis ibu kota sedang makan martabak. Tempat jualan martabak di Foa hanya sebuah tempat yang berukuran setengah meter yang diberi skat karton, 3 buah meja, dan 3 buah kompor yang diatas kompor terdapat tungku loyang martabak.
Akupun menuju ke arah tempat penjual martabak. Tebakanku benar. Aku langsung memesan 1 loyang martabak kepada bapak penjual martabak, perkiraanku umur bapak tersebut sekitar 50-an tahun. Dengan cepat bapak penjual martabak mengambil diatas loyang terakhir pesananku. Ketika ia selesai bapak memotong martabak yang satu loyang, menurutku tidak cukup satu loyang. Satu loyang aja hanya terdapat 4 potong. Karena kurang cukup lalu aku memesan satu loyang lagi. Bapak penjual martabak mengiyakan, tapi katanya "Sedikit menunggu dek", aku mengiyakan.
Sambil menunggu martabak yang aku pesan masak, aku mengawali pembicaraan dengan Bapak penjual martabak dengan menanyakan kepadanya, sudah berapa lama bapak menjadi penjual martabak. Dengan semangat sambil sesekali menabur kacang diatas martabak, ia menceritakan kepadaku kisahnya.
Setiap hari, ia berpindah tempat untuk menjual martabak. Dari pasar tradisional yang satu ke pasar tradisional yang satunya. Pada musim panas, 30-50 loyang martabak bisa terjual, tetapi saat musim hujan hanya terjual sekitar 10-15 loyang. Dulu satu loyang martabak hanya sekitar seribu, tetapi dengan harga bahan-bahan membuat martabak. Satu loyang sekitar 3 ribu. Sangat berbeda dengan harga martabak makobar atau martabak-martabak yang dijual di pusat perbelanjaan yang satu loyang martabak sekitar 20-40 ribu.