Sesekali, aku menoleh ke lukisan besar yang berada di kamar mama. Tiap kali melihatnya, perasaan kurang nyaman selalu merayapi tengkukku. Namun, rasa penasaran selalu membayangi; siapa perempuan dalam lukisan itu? Setiap kali kutanyakan kepada mama, pasti beliau menolak untuk memberi tahu. “Ia perempuan yang pernah tinggal di rumah ini” jawabnya lirih. Aku semakin penasaran, kutanyakan kepada ayahku, tante, om, dan si bibi. Mereka hanya tersenyum pahit dan mengatakan bahwa sebaiknya kita melupakannya. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa kita melupakan seseorang yang potretnya ada di rumah kita. Perlahan, aku mendekati lukisan berukuran 2 x 1 meter itu. Sesesok gadis berparas anggun sedang berdiri dengan gaun berwarna merah. Wajahnya sayu, penuh kesedihan, penuh duka. Mata gadis ini indah, seperti manik-manik kaca, rambut panjangnya terurai manis menyampiri pundaknya. Entah magis apa yang membuatku tertarik pada lukisan ini. secara umum, lukisan ini memang bagus. Permukaannya begitu halus, hanya terdiri dari dua warna, merah dan hitam. Warna merahnya begitu nyata. Seperti darah, pikirku. Mungkin wanita ini berumur sekitar 20 tahun, seumuran denganku. Hampir setiap hari, aku memperhatikan gadis dalam lukisan itu. Aku merasa bahwa kami saling memiliki keterikatan batin satu sama lain. Album tua dalam genggamanku terjatuh. Mengapa aku membawa album ini? Pikirku terheran. Setengah halamannya terbuka, seolah ingin aku melihatnya. Di antara foto-foto tua itu, aku melihat sebuah foto yang sudah menguning, dan sesesok perempuan. Bergaun merah, dengan tulisan namaku, 1934.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H