Bang Codet, begitu nama panggilannya. Tidak ada yang tahu dan mau tahu nama aslinya. Yang mereka tahu hanyalah satu, Bang Codet adalah preman pasar paling sangar. Dengan tinggi 180cm, rambut gondrong, tato bergambar naga dan luka codet di dahinya. Suaranya menggelegar apabila keinginannya tidak terpenuhi. Ia kerap muncul ketika menjelang sore hingga dini hari, main kartu sambil minum bir oplosan racikan sendiri.
Aku tahu betul tentangnya.
Aku tahu nama aslinya adalah Rahman.
Aku tahu masa lalunya. Itu sebabnya dia tidak berani membentakku, tidak berani memalakku dan tidak berani memukulku.
"Hidup di Jakarta itu keras, Asri" gumamnya suatu hari. "Itu sebabnya aku seperti ini."
Aku mengangguk tanda mengerti. Bagaimana pun juga, aku yang mengajaknya merantau dari Jogja ke Jakarta. Setiap kali ia berusaha telihat galak di pasar, diam-diam aku menahan tawa;
Rupanya Rahman lebih cocok bekerja di salon, daripada di pasar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H