Saat Kecintaan terhadap Politikus Melebihi Kecintaan kepada Nabi          Â
Kepala adalah simbol tubuh. Kepala adalah monitar pertama menilai secara fisik. Kepala itu bisa berarti pemimpin, penguasa atau seseorang yang sebagai ketua perwakilan bersama. Maka sumbu dasar perubahan zaman di kehidupan manusia (walau hakekatnya adalah Tuhan juga yang melakukan) tetapi pemimpin diberi amanah, klausal , wewenang untuk mengurusi kelompoknya. Sehingga nilai suatu kelompok itu ada pada seberapa sukses pemimpin itu memimpin. Seberapa jujur ia berlaku, seberapa keras ia berusaha.
Kita seperti terjebak suatu masalah yang sumbunya juga buatan dari peraturan kita sendiri. Pendek kata, kita sebagai rakyat sangat tidak begitu paham apa-apa tentang program dan janji-jani dari pemimpin. Problem inilah yang membuat kita masih terjebak pada menilai sesuatu atas dasar penilaian subyektif. Cinta yang membabibuta. Apa yang kita butuhkan dari penguasa/presiden/gubernur atau yang sejenisnya? Apa kita butuh nama branding mereka atau program-program mereka? Kita kurang peka bahkan jauh dari apa yang sebenarnya kita butuhkan.
Pemimpin itu adalah "pelayan rakyat". Inilah hakekatnya yang benar. Yang bisa kita ambil dari mereka adalah tentang programnya yang dilaksanakan sehingga aktualisasinya nyata dan juga janji-janjinya dilaksanakan sehingga masyarakat tidak jadi dikibuli. Berapa banyak kita yang dikibuli oleh janji-janji kampanye? Berapa persen program-programnya yang dilaksanakan? Berapa banyak dari kita yang terjebak pada penilaian seseorang tanpa berfikir menilai program dan janjinya? Seharusnya sebagai rakyat kita berangkat dari pertanyaan-pertanyaan itu sebab memang yang kita butuhkan dari pemimpin itu bukan orangnya, partainya atau lembaganya. Kita hanya butuh programnya dliaksanakan dan janjinya ditepati.
Kita terlampau gegabah sehingga brand nama pemimpin, kita puja-puja bahkan tanpa bersalah kita seperti menjadikan mereka "nabi". Jika ada yang kontra, kita bela mati-matian bahkan bilaperlu kita debati yang kontra. Jika lagi bagus, kita puja-puja habis-habisan sambil sesekali menghina lawan subyektif kita. Dan sepah dari pemilu 2014 itu sampai sekarang masih banyak dari kita yang terjebak pada subyektifitas. Padahal jika kita harus jujur, para pemimpin yang rebutan nasi pemilu itu sebenarnya sedang rebutan jabatan, rebutan kursi, rebutan menguasai. Hal ini juga termasuk politikusnya, partainya, lembaganya atau organisasi yang mendukungnya.
Silakan saja dukung secara subyektif orang yang kalian puja-puja : fans Jokowi, Fans Prabowo, Fans Ahok, Fans Habib Rizieq, Fans Anis, Fans SBY dan lain sebagainya. Silakan kalian dukung melebihi kalian mendukung Tuhan dan Nabimu sendiri. Omongan mereka lebih kalian percayai daripada Firman Tuhan dan Sabda Nabi Muhammad SAW. Sudahkah wahai kalian yang mengidolakan "manusia zaman now" itu menyadari bahwa yang kalian lakukan itu sudah seperti kecintaan yang membabibuta, kalian tidak jernih dalam menilai dan hanya mau menilai seseorang secara subyektif. Padahal rentang waktu, obyektif itu fleksibel. Ingat para fans manusia zaman now, Mereka itu manusia biasa,jadi mengapa kalian segitunya mengidolakan mereka?
Dan yang lebih mengerikan lagi ketika ayat-ayat AlQur'an dijadikan strategi untuk jualan menang-menangan dalam taruhan pemilu. Menjual ayat yang goalnya adalah kekuasaan. Menjual ayat yang muaranya rebutan tampuk kepemimpinan. Padahal di Q.S. Al Baqarah : 174
"Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah yaitu Al kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan ( tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih."
Betapa Allah memperingatkan kita supaya tidak jualan ayat. Tidak jualan ilmu. Tidak jualan agama untuk kepentingan dunia. Lihatlah para pemimpin-pemimpin yang sedang rebutan nasi itu, mereka jualan ayat. Mereka melakukan pencitraan. Mereka melakukan talbis. Lalu pertanyaannya, Tidakkah mereka takut dengan apa yang mereka lakukan, sedangkan azab buat orang yang menjual ayat itu adalah siksa yang amat pedih. Apa jangan-jangan pemimpin kita memang tidak benar-benar mempercayai Tuhan sehingga berani menjual ayat demi kepentingan dunia mereka. Hal ini berlaku buat semua yang masih ngefans manusia biasa yang dalam praktek ngefans melebihi Nabinya sendiri. Sudahkah kalian menyadari hal ini? Maukah kalian menilai secara obyektif dan tinggalkan kebanggaan subyektif?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H