Sebelum memberikan penjelasan  lebih dalam izinkan saya terlebih dahulu menguraikan tentang apa yang dimaksud dengan konstruksi sosial. Teori ini diperkenalkan oleh Peter L Berger dan Thomas Luckman berdasarkan teori interaksionaliasme simbolik karya Mead. Teori ini menyatakan bahwa setiap realitas ditentukan atau bergantung pada pandangan masyarakat yang dibangun secara sosial. Realitas ini kemudian diinstitusionalisasi dan diinternalisasikan ke masyarakat melalui proses sosialisasi sejak mereka anak-anak hingga seumur hidup.
Hingga hari ini masih ada orang-orang yang bisa dikatakan terdidik justru memandang waria sebagai sebuah penyakit. Hal ini tidak mengherankan sebab orang-orang tersebut (yang memandang waria sebagai sebuah penyakit) memang sejak awal telah mendapatkan pengajaran sosial realitas sosial sejak dia masih kecil. Di mana menurut realitas tersebut waria adalah bentuk dari sebuah penyakit yang menjangkit seseorang.Â
Di dalam masyarakat Indonesia khususnya memang terdapat beberapa pandangan yang kemudian digiring untuk menilai kaum waria di antaranya:
Steriotip dan dualisme gender
Selama ini masyarakat kita cenderung hanya mengenal dua jenis kelamin yaitu lelaki dan perempuan. Di mana masing-masing gender memiliki sterotipnya sendiri. Seorang perempuan dikonstruksikan sebagai sosok yang feminine sementara pria maskulin. Sementara kaum waria dianggap melenceng dan keluar dari steriotip tersebut. Inilah yang menurut saya menjadi semacam 'gerbang' pertama seorang waria mendapatkan label 'berpenyakit' di masyarakat.
Norma agamaÂ
Agama merupakan salah satu hal yang digunakan oleh masyarakat untuk mendiskriminasi kaum waria. Hal ini tidak lepas karena agama sendiri juga menjadi salah satu landasan membangun konstruksi sosial di dalam masyarakat. Dalam agama islam sendiri misalnya, terdapat larangan bagi seseorang untuk berpenampilan di luar jenis kelamin biologisnya.Â
Stigma negative di masyarakat soal wariaÂ
Karena dianggap melanggar standar gender, norma agama dan budaya yang ada di masyarakat inilah kemudian para waria mendapatkan diskriminasi melalui pemberian stigma-stigma negative. Seperti bahwa waria adalah sosok yang berbahaya dan sebagainya. Alhasil, diskriminasi ini membuat waria tidak mendapatkan haknya. Bahkan banyak dari mereka tidak memiliki kartu identitas (di mana ini menjadi bukti bahwa negara dan politik yang juga dibangun dan merupakan bagian dari konstruksi sosial telah turut mendiskriminasi mereka) dan tidak bisa mengenyam bangku pendidikan, lebih miris lagi banyak dari mereka mendapatkan pekerjaan yang layak bahkan menjadi PSK dengan segala resikonya. Mereka menjadi kelompok yang sangat rentan bukan hanya dari segi kesehatan tapi juga sosial, hukum maupun ekonomi.Â
Sehingga di sini saya bisa menyatakan bahwa konstruksi sosial bukan hanya menyatakan mereka menjadi berpenyakit tetapi juga menggiring mereka untuk mendapatkan penyakit-peyakit tersebut. Terutama ketika kita melihat waria di masyarakat lain di mana dia tidak dikonstruksikan sebagai sebuah penyakit, maka mereka akan memiliki kehidupan yang jauh lebih baik ketimbang di masyarakat yang menyatakan mereka sebagai sebuah penyakit. Karena mereka memiliki kesempatan yang sama di masyarakat untuk belajar, berpendidikan dan memperoleh pekerjaan yang layak sehingga tidak perlu lagi menjadi PSK untuk bertahan hidup hingga kemungkinan mereka tertular HIV pun bisa menjadi jauh lebih kecil. Â