Mohon tunggu...
Ivan Sieswanto
Ivan Sieswanto Mohon Tunggu... profesional -

bersyukur kepada Allah yang telah memilihkan profesi sebagai guru,suka menulis puisi dan cerpen sejak SMP, terus menulis untuk melatih kepekaan pikiran dan hati, sering ditolak wanita pujaan sehingga sensi thd cinta, ingin selalu mendapat hidayahNya,ingin bermanfaat bagi sesama, ingin menjadi pribadi rendah hati, ingin selamat dunia akhirat

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Duhai Angin, Bawa Daku Pergi

4 November 2013   09:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:37 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com


(ketika hati lelah, ketika jaman kian berlumur dusta)


andai saja aku bisa bersahabat dengan angin
berkarib dengan keperkasaan sayap-sayapnya
aku akan merajuk bermanja kepadanya
meronta-ronta dalam belai sejuk pelukannya
merayu, berbisik-bisik sahdu
meremas jemarinya yang samar-samar seperti mengelus pundakku
dan aku mendekap wajahnya yang sesungguhnya tak mudah aku kenali
yang terus saja memandangku aneh seperti hendak menerkamku

tapi sejenak kulihat ada senyum di bibirnya yang juga sesaat terus hilang
tak berbentuk
tak berujud
sama seperti tubuhnya yang juga terus saja membuat buta mataku
namun aku terus saja memeluknya
sembari terus berbisik-bisik sahdu
meminta dirinya mengabulkan deru-deru hasratku
pergi ke kutub selatan dan sesudahnya
aku ingin dia tetap menggendongku
mengantarkan perjalanan panjangku
menuju kutub utara
terbang melintasi mega-mega putih
menari terbahak meninju dinding-dinding langit

dan dengan begitu indah dia menukik tajam
duh, membuatku nafasku seperti tertinggal di ujung langit
oh, ternyata dia mengantarku menjemput pucuk-pucuk pinus
hingga akhirnya tangan-tangan lemahku
riuh merayapi dahan-dahan berselimut salju
dan sesaat kemudian aku bersila duduk bersimpuh
dan sesaat berdiri tegak menatap luas cakrawala
dan sesaat kembali duduk bersimpuh memuja sang Khalik
Tuhan seru sekalian alam

dan sang angin sahabatku
membiarkan aku berjalan menapaki hamparan dingin salju
memandangku sembari menggeleng-gelengkan kepala
saat melihatku rakus meneguk air-air seisi danau-danau sunyi yang berjajar-jajar
danau-danau bergelimang binar-binar biru mutiara
yang berbaris memanjang membentuk lekukan-lekukan indah
seindah sketsa lukisan para seniman surealis
seindah celoteh ribuan puisi biru tentang persahabatan alam dengan jaman

duhai angin sahabatku
biarkan sejenak aku disini
karena disana, nun jauh di sana
urat leherku sudah teramat perih
terbakar panasnya api jaman
hingga nafasku seperti hendak memuntahkan bara
bahkan sesungguhnya aku (seperti) sudah mati

Kalirajut, 4 November 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun